Senin, 20 April 2009

Beasiswa Bagi Siswa Miskin SD Diperbanyak





Senin, 15 September 2008 | 19:35 WIB

JAKARTA, SENIN - Pemberian beasiswa bagi siswa miskin di jenjang Sekolah Dasar pada 2009 diperbanyak hingga mencapai 2,2 juta siswa. Peningkatan jumlah penerima beasiswa sekitar tiga kali lipat dari tahun 2008 ini sebagai upaya untuk membuat anak-anak yang rawan putus sekolah karena alasan ekonomi tetap dapat menikmati layanan pendidikan dasar di bangku sekolah.



"Beasiswa ini untuk membantu anak-anak SD dari keluarga miskin supaya tetap bisa bersekolah. Bisa juga siswa yang putus sekolah kembali lagi ke SD," kata Mudjito, Direktur Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Departemen Pendidikan Nasional, di Jakarta, Senin (15/9).



Menurut Mudjito, bantuan pemerintah pusat untuk wajib belajar 9 tahun seperti bantuan operasional sekolah (BOS) sebenarnya bisa membuat siswa tidak lagi dipusingkan dengan berbagai pungutan di sekolah. Untuk itu, pemerintah daerah harus mendukung dengan tambahan bantuan operasional dari APBD sehingga sekolah gratis bisa terwujud bagi semua siswa.



Pada 2008, alokasi beasiswa bagi siswa miskin jenjang SD senilai Rp 360.000/siswa/tahun diberikan kepada 690.000 siswa di seluruh Indonesia. Beasiswa yang dikirimkan lewat pos langsung kepada siswa itu bisa dipakai untuk biaya personal seperti pembelian baju seragam, alat tulis, buku, atau transportasi.



Adanya kenaikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen pada 2009, salah satunya dialokasikan untuk peningkatan beasiswa bagi siswa miskin dari masyarakat umum menjadi 1.796.800 siswa dengan nilai Rp 360.000/siswa/tahun. Selain itu, ada bantuan pendidikan anak PNS golongan I dan II serta Tamtama TNI/POLRI untuk 405.338 siswa sebesar Rp 250.000/siswa/tahun.



Dewi Asih Heryani, Kepala Subdirektorat Kesiswaan Direktorat TK dan SD Depdiknas, menjelaskan beasiswa senilai Rp 748 miliar lebih itu dialokasikan ke semua pemerintah provinsi. Pembagian diprioritaskan untuk anak-anak miskin yang rawan putus sekolah.



Saat ini sebanyak 841.000 siswa SD atau 2,90 persen dari total murid SD/MI sekitar 28,1 juta putus sekolah. Pada akhir 2008 ini ditargetkan tidak ada lagi anak usia SD yang tidak menikmati layanan pendidikan dasar.

ELN

42.302 Siswa Akan Ikuti UN dan UASBN di Magelang


KRISTIANTO PURNOMO


Jumat, 27 Februari 2009 | 18:56 WIB
Laporan wartawan Regina Rukmorini

MAGELANG, JUMAT — Ujian Nasional (UN) dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di Kabupaten Magelang akan diikuti oleh 42.302 siswa. UASBN akan diikuti oleh 20.006 siswa SD, sedangkan peserta UN terdiri dari 15.188 siswa SMP, dan 7.108 siswa SMA.

Ketua Panitia UN dan UASBN Kabupaten Magelang Haryono mengatakan, UN dan UASBN dijadwalkan berlangsung pada April dan Mei 2009. Selain jumlah peserta, Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang saat ini juga sudah mendata kebutuhan ruangan. UASBN nantinya akan dilaksanakan memakai 1.382 ruangan, UN bagi SMP akan dilaksanakan di 861 ruangan, sedangkan untuk SMA, di 410 ruangan.

Mendekati tanggal pelaksanaan, Haryono mengatakan, pihaknya juga sudah mengimbau para kepala sekolah untuk segera mengadakan pelajaran tambahan untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian.

"Dalam pemantauan kami di lapangan, sebagian besar sekolah ternyata juga sudah mulai memberikan pelajaran tambahan sejak Januari lalu," terangnya, Jumat (27/2).

Di tingkat SD dan SMP, berbagai kegiatan persiapan menghadapi ujian di sekolah dapat dibiayai dari dana biaya operasional sekolah (BOS). Namun, hal serupa tidak dapat dilakukan di SMA dan SMK.

Karena memang tidak mendapat kucuran dana BOS, maka SMA dan SMK dapat menarik biaya tambahan dari orangtua murid untuk membiayai kegiatan persiapan ujian. "Namun, agar tidak memberatkan, maka nominal besaran iuran tersebut harus dibicarakan dan disepakati oleh para wali murid terlebih dahulu," paparnya.

Tahun ini, UN akan terasa lebih berat karena standar kompetensi lulusan (SKL) bagi siswa SMP dan SMA meningkat dibanding tahun 2008. Jika sebelumnya ditetapkan nilai rata-rata dari mata pelajaran yang diujikan 5,00 maka pada tahun ini menjadi 5,50. Tahun ini, nilai dua minimal untuk dua mata pelajaran adalah 4,00 dan nilai minimal untuk mata pelajaran yang lainnya, 4,25.

Khusus untuk SD, SKL ditetapkan oleh masing-masing sekolah sendiri. Dalam hal ini, sekolah harus patuh pada komitmennya sendiri. "Jika ada siswa yang meraih nilai di bawah standar, mereka pun harus berani untuk tidak meluluskannya," ujarnya.

Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan SMA Negeri 1 Kota Magelang Tatak Setyono mengatakan, saat ini, siswa-siswi kelas tiga di masing-masing kelas sudah membuat kelompok belajar sendiri-sendiri. Dalam kelompok itu, mereka bebas memutuskan untuk mempelajari mata pelajaran apa yang paling tidak dikuasai dan juga dapat memilih guru pendamping yang diinginkan.

"Kelompok belajar siswa tersebut akan belajar bersama gurunya pada jam-jam tertentu yang mereka sepakati bersama di luar jam pelajaran di sekolah," ujarnya.







5000 Tenaga Honorer Datangi Gedung DPR


KRISTIANTO PURNOMO

Senin, 25 Februari 2008 | 09:47 WIB

JAKARTA, SENIN - Ribuan orang yang tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) mendatangi Kompleks Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (25/2). Untuk kesekian kalinya mereka meneriakkan pengangkatan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Koordinator Lapangan (korlap) Nurdi mengatakan, hampir 5000 guru akan bergabung di depan Gedung DPR untuk menyuarakan aspirasi mereka. Saat ini, telah berkumpul lebih dari 1000 orang peserta aksi. Namun menurut Nurdin, 10 bis asal Semarang dan Surabaya akan segera tiba.

Dengan menggunakan beragam atribut, diantaranya pita kecil berwarna merah, dan ikat kepala putih bertuliskan "FTHSNI", para tenaga pendidik ini duduk bersila tepat di depan gerbang pintu Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Beberapa orator, secara bergantian meneriakkan orasi mereka melalui sebuah pengeras suara.

Dalam orasinya, mereka menyebutkan bahwa PP 48/2005 yang direvisi menjadi PP 43/2007 dianggap sebagai kebijakan yang tidak berpihak pada tenaga honorer, khususnya di Sekolah Negeri atau Instansi Pemerintah lainnya. Mereka antara lain juga menuntut agar diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS, dihapuskannya syarat 24 jam perminggu untuk tunjangan fungsional bagi Guru Tidak Tetap dan tuntutan tunjangan bagi Staf Tata Usaha Tidak Tetap seperti halnya GTT.

Para Guru ini mengaku hanya mendapatkan honor sebesar Rp150 ribu - Rp300 ribu. Aksi ini berlangsung dibawah pengawalan puluhan anggota kepolisian dan merupakan aksi kesekian kalinya yang mereka lakukan, setelah beberapa kali melakukan audiensi dengan berbagai komisi di DPR tidak juga membuahkan hasil. Menurut rencana beberapa perwakilan tenaga honorer akan diterima oleh Komisi II DPR. (ING)

ING

Profesi Guru Digandrungi Lagi



Kamis, 8 Mei 2008 | 19:52 WIB



BANDUNG, KAMIS - Profesi guru atau tenaga pendidik kini mulai digandrungi lagi. Hal ini salah satunya terlihat dari tren peningkatan peminat calon mahasiswa di lembaga pendidik dan tenaga kependidikan, salah satunya Universitas Pendidikan Indonesia. Tren itu terutama mulai meningkat l ima tahun terakhir ini.

Berdasarkan data Humas Universitas Pendidikan Indonesia, peminat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di UPI menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2008 ini misalnya, total ada sebanyak 9.085 pendaftar dari 962 sekolah di seluruh Indonesia. Padahal, yang diterima hanya 1.065 orang.

Sebagai perbandingan, pada tahun sebelumnya, pendaftar PMDK hanyalah 6.800 orang. Pada tahun 2006, hanya 5.000 an. Lalu, pada 2005, bahkan hanya 1.900-an, kata Rektor UPI Prof. Sunaryo Kartadinata, Kamis (8/5). Menurutnya, tren peningkatan yang terlihat dari j alur PMDK ini menunjukkan profesi guru kini kembali mendapat tempat di masyarakat.

Tren meningkatnya peminat yang juga terjadi di jalur lain, baik Seleksi Nasional dan Ujian Masuk UPI (jalur swadaya), meningkatkan pula raw input (kualitas) dari calon mahasiswa. Daya saingnya kian tinggi. Prodi-prodi tertentu sudah sangat ketat, misalnya Matematika yang jumlah pendaftar mencapai 700 orang padahal daya tampung hanya 20-an, ucapnya. Sehingga, calon-calon guru yang dihasilkan diharapkan makin berkualitas.

Ia menduga, meningkatnya minat siswa menjadi guru terutama disebabkan mulai tingginya perhatian terhadap pendidikan, khususnya dari pemerintah. Profesi guru makin mendapat p engakuan di masyarakat secara sosial-psikologis melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini secara tegas mengatur profesionalisme guru dan kesejahterannya.

Rektor Universitas Pasundan Prof. Didi Turmudzi b erpendapat senada, minat calon mahasiswa pada jurusan FKIP (Kependidikan) makin meningkat, terutama di kurun waktu 2000-an ini. Padahal, di tahun 1990-an, jurusan FKIP Unpas sempat lesu peminat. Tren peningkatan ini, ucapnya, dipengaruhi pula kondisi sosial-politik di Indonesia dan juga peningkatan kebutuhan tenaga guru.

Sejak Senin (5/5) Mei lalu, UPI membuka pendaftaran Ujian masuk UPI. Menurut Sunaryo, dalam beberapa hari ini, sudah sekitar seribu orang mendaftar. Tahun lalu, total pendaftar UM-UPI men capai sekitar 9.000 orang, termasuk Pendidikan Guru SD dan TK. Padahal, jalur khusus ini berkonsekuensi pada biaya. Dana Pengembangan Lembaga atau DPL misalnya, dikenakan antara Rp 3 juta hingga Rp 15 juta tergantung prodi. Lalu, ada lagi dana BPMA (Biaya Peningkatan Mutu Akademik) sebesar Rp 2,5 juta. Tetapi, biaya SPP (Sumbangan Pengembangan Pendidikan) hanya Rp 900 ribu per semester.

Karena terpaksa

Pupu Fauziah (19), salah seorang pendaftar, mengatakan, profesi guru memberi jaminan kerja yang santai, tidak terlalu berat. Penghasilan guru yang minim tidak terlalu mengkhawatirkannya. "Kan, kalau bisa diangkat jadi CPNS bisa lebihh baik, " tutur siswi asal Soreang yang mendaftar di Jurusan Bimbingan Konseling UPI ini.

Lain lagi dengan Indah Syarefa (18). Ia mengakui, pilihan mendaftar di jurusan pendidikan lebih karena terpaksa. Dianjurkan sama orangtua. Katanya, ke depan lebih cerah. Sebenarnya, mau kuliah di Akper (akademi keperawatan), tetapi tingginya kurang 2 centimeter, tutur mahasiswi program diploma pada salah satu lembaga pendidikan di Bandung ini.





Yulvianus Harjono

Sertifikasi Guru Perlu Dibenahi



Jumat, 9 Januari 2009 | 19:59 WIB

JAKARTA, JUMAT — Pelaksanaan uji sertifikasi bagi guru dalam jabatan perlu segera dibenahi supaya tidak merugikan hak-hak para pendidik. Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki kinerja penyelenggaraan uji sertifikasi guru secara efektif dan efisien sehingga sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia bisa menjadi guru profesional pada 2015.

Pembenahan untuk uji sertifikasi guru ini perlu dilakukan mulai dari pemerintah hingga lembaga pendidik dan tenaga kependidikan atau LPTK yang menilai portofolio guru. "Jangan sampai karena kinerja yang lambat, justru guru yang dirugikan. Banyak para guru yang akhirnya tidak mendapat tunjangan sertifikasi satu kali gaji per bulan yang tidak utuh," kata Sulistiyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Se-Indonesia yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (9/1).

Menurut Sulistiyo yang juga Rektor IKIP PGRI Semarang, pemerintah harus bisa menyelesaikan uji sertifikasi untuk guru sebelum akhir tahun supaya pada awal tahun berikutnya guru sudah bisa mendapatkan tunjangan profesi karena telah memiliki sertifikat guru profesional seperti yang disyaratkan Undang-undang Guru dan Dosen. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan uji sertifikasi, mulai dari penyerahan portofolio, penilaian, pengumuman, hingga penyerahan sertifikat pendidik sering terlambat dari target waktu yang ditetapkan.

"Perlu juga ditambah lagi LPTK penyelenggara sertifikasi supaya pelaksanaannya berkualitas dan sesuai jadwal. Pemilihan LPTK ini harus yang memenuhi kualifikasi supaya guru profesional yang dihasilkan memang sesuai yang dibutuhkan untuk perbaikan mutu pendidikan saat ini," kata Sulistiyo.

Adapun untuk pendidikan profesi guru yang akan dimulai tahun ini, kata Sulistiyo, pesertanya harus diutamakan dari lulusan LPTK. Hanya untuk guru bidang studi yang memang sulit ditemukan di LPTK saja yang seharusnya dibuka untuk lulusan perguruan tinggi umum. "Ini supaya tidak jadi preseden jika profesi guru hanya untuk mereka yang sulit mencari pekerjaan lain. Profesi guru harus lahir dari orang-orang yang siap menjadi guru berkualitas," jelas Sulistiyo.

Achmad Dasuki, Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, mengatakan, pembenahan untuk uji sertifikasi guru terus dilakukan. Supaya tidak lagi tersentral di Depdiknas, pelaksanaan sertifikasi diserahkan kepada pemerintah provinsi.



Ester Lince Napitupulu

1.000 Tenaga Pendidik Hadiri Kongres Guru Indonesia




Kamis, 27 November 2008 | 17:37 WIB

JAKARTA, KAMIS- Sekitar 1.000 guru dari seluruh Indonesia, Kamis(27/11), menghadiri Kongres Guru Indonesia (KGI) 2008 di Balai Kartini Jakarta. Kongres yang berlangsung hingga Jumat (28/11) besok itu tidak saja membahas metode mengajar, tetapi juga pemahaman dan toleransi pendidik serta peranan teknologi di dunia pendidikan.

"Kongres ini dapat menambah wawasan serta meningkatkan kualitas guru," kata Direktur Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional Baedowhi seusai meresmikan KGI 2008 di Balai Kartini Jakarta, Kamis (27/11).

Baedowhi mengatakan, untuk mengukur kualitas guru dapat dinilai berdasarkan tingkat kualifikasi dan kompetisi. Tingkat kualifikasi didasarkan atas pendidikan yang dijalani di bangku kuliah hingga setelah menjadi guru. Pendidikan tidak harus formal tetapi bisa pelatihan, seminar dan semacamnya.

Selanjutnya, tingkat kompetisi menjadi ukuran dalam menentukan kualitas guru. Seyogyanya, setiap guru harus melalui tes akademik sesuai dengan mata pelajaran yang akan diampu. Tes ini harus dijalankan di seluruh daerah tanpa terkecuali. Harapannya agar siswa secara maksimal mampu menyerap ilmu gurunya.

"Kualitas ini yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan murid dalam menyerap ilmu," tambah Baedowhi.

Kongres yang bertema "Think global, Act Local" diisi bermacam dialog yang melibatkan 38 pembicara, terdiri pengamat dan praktisi pendidikan. Selain itu, juga dimeriahkan oleh pameran dari berbagai sekolah.

C12-08

Pemerintah Rumuskan Pembelajaran Peduli Lingkungan


KRISTIANTO PURNOMO



Rabu, 24 September 2008 | 23:29 WIB

SURABAYA, RABU -Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menyatakan Menneg LH telah sepakat dengan Mendiknas untuk merumuskan pembelajaran yang menanamkan kepedulian kepada lingkungan sejak dini.

Hal itu dikemukakan Meneg LH Rachmat Witoelar dalam studium generale bertajuk "Peran Strategis Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim" di Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu petang.

Dalam kegiatan akhir pekan bulan Ramadhan 1429 H yang juga dihadiri aktivis lingkungan hidup Erna Witoelar dan Rektor Unair Prof Dr Fasich Apt itu, Menneg LH menyatakan kesepakatan dengan Mendiknas itu perlu dirumuskan dalam aksi riil.

"Aksi riil itu antara lain dengan mengkampanyekan sikap peduli lingkungan melalui bintang-bintang cilik anak-anak, karena itu saya berharap Unair juga turut mengambil peran strategis dalam aksi riil itu," katanya.

Ada tiga langkah strategis yang dapat dimainkan Unair yakni mengkaji sifat kekhasan alam Jawa Timur sebagai rona lingkungan strategis.

Langka lainnya, memberikan kajian ilmiah terhadap potensi sumber daya alam dan faktor resiko dalam proses pemanfaatannya, serta menganalisa kompleksitas masalah kekinian (lumpur, dampak sosial, dan keanekaragaman hayati).

"Peran strategis yang dimainkan itu harus merujuk pada hasil Bali Roadmap sebagai komitmen internasional atau Millenium Development Goals (MDGs)," katanya.

Menurut dia, Bali Roadmap merupakan hasil nyata Indonesia sebagai tuan rumah dalam pertemuan internasional yang hasilnya banyak diakui internasional dibanding hasil-hasil pertemuan lainnya.

"Untuk itu, aksi riil ke depan harus merujuk pada MDGs dengan memastikan keberlanjutan fungsi LH yakni membalik arah kecenderungan hilangnya sumber-sumber LH, mengurangi 50 persen proporsi manusia tanpa akses air minum yang aman dan berkelanjutan, serta mencapai tingkat perbaikan hidup yang jauh lebih baik bagi minimum 100 juta pemukim lingkungan kumuh," katanya.

Dalam `Bali Action Plan` juga telah diproses negosiasi untuk pasca2012, diantaranya melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti kekeringan dan banjir.

"Negosiasi lainnta, upaya mereduksi emisi GRK, upaya mengembangkan dan memanfaatkan climate friendly technology, serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi. Tentunya, dengan menetapkan jadwal penyelesaiannya pada tahun 2009," katanya.

Menanggapi tawaran itu, Rektor Unair Prof Dr Fasich mengatakan Unair dengan beberapa program studi yang ada akan senantiasa membuat kajian-kajian dalam menyikapi perubahan iklim tropis.

"Misalnya, kami mengatasi wabah flu burung sebagai bagian lain dari dampak perubahan lingkungan, kemudian kami juga melakukan penelitian-penelitian penyakit yang timbul akibat perubahan iklim itu," katanya.

Selain itu, katanya, Unair juga melakukan kajian terhadap ikan dan sumberdaya alami yang tidak tampak keberadaannya, namun memiliki potensi yang tak ternilai terhadap pembangunan fisik dan psikis manusia, khususnya manusia Indonesia.

"Teknologi pakan ternak yakni konsentrat, pengendalian efek gas buang, dan penemuan enzim alami sebagai pupuk organik telah ditemukan peneliti-peneliti Unair yang diharapkan menunjang usaha perbaikan lingkungan hidup di masa depan," katanya.

WAH
Sumber : Antara

Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup



Selasa, 8 Juli 2008 | 21:40 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.

”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).

Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.

Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

ELN

Kualitas SD Masih Diabaikan


Delapan Standar Belum Dipenuhi
Sabtu, 17 Mei 2008 | 00:44 WIB

Jakarta, kompas - Untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar, pemerintah terkesan lebih suka menempuh cara instan, antara lain dengan menyelenggarakan ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN. Delapan standar pendidikan di sekolah yang lebih penting justru diabaikan.

Penilaian ini dilontarkan Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia S Hamid Hasan dan pengamat pendidikan HAR Tilaar secara terpisah di Jakarta, Jumat (16/5). Menurut Hasan, sebelum menyelenggarakan UASBN, mestinya pemerintah memprioritaskan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan untuk di sekolah.

Delapan standar itu adalah standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi. Selanjutnya, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, serta standar penilaian pendidikan.

Menurut Hasan, jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan, mestinya kualitas sekolah dulu yang dilihat. ”Apakah sudah sesuai standar pendidikan nasional yang ditetapkan atau belum?” ujarnya.

Jika belum, standar pendidikan nasional tersebut harus dipenuhi dulu secara bertahap. ”Kenyataannya, pemerintah lebih suka mengambil jalan pintas, yakni untuk meningkatkan kualitas pendidikan, lalu dilakukan UASBN untuk siswa setingkat sekolah dasar,” ujarnya.

Padahal, lanjutnya, UASBN hasilnya tidak akan optimal jika tidak didukung pemenuhan standar pendidikan nasional. Misalnya, soal gedung sekolah yang diatur dalam standar sarana dan prasarana pendidikan, hingga kini masih banyak bangunan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang rusak parah. Kekurangan ruangan kelas umumnya mengorbankan pendidikan siswa kelas I dan II SD yang antara lain bentuknya berupa penggabungan dalam satu ruangan kelas. ”Padahal, pendidikan pada level ini sangat membutuhkan pembelajaran yang sungguh-sungguh,” ujarnya.

Belum lagi sekolah yang rusak ringan dan rusak parah. Dari data Depdiknas tahun 2006/2007, tercatat 475.986 ruangan kelas rusak ringan dan rusak berat.

Kondisi guru SD juga masih jauh dari sejahtera dan memenuhi kualifikasi guru profesional. Dari 1,25 juta guru SD, sebanyak 417.389 guru masih berpendidikan setaraf SMA dan yang berpendidikan D-1-D-3 sebanyak 624.404 guru.

Dengan kondisi guru yang masih jauh dari kualifikasi profesional tersebut, proses pembelajaran yang seharusnya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan masih jauh dari harapan. Begitupun suasana pendidikan yang menantang dan memotivasi siswa untuk kreatif belum dapat diterapkan. Sekolah negeri umumnya masih menyajikan pembelajaran konvensional yang memandang siswa sebagai obyek yang harus disuapi ilmu dari guru di kelas.

Arah tidak jelas

HAR Tilaar mengatakan, arah kebijakan pendidikan Indonesia ini semakin tidak jelas. Proses belajar yang tercipta mulai tingkat SD mengandung nilai paksaan, menakut-nakuti, dan mengembangkan sikap terabas. Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan.

”Padahal, setiap anak punya potensi masing-masing. Ada yang unggul di satu bidang, namun bisa jadi lemah di bidang lain. Sekarang dengan UASBN, semua siswa harus sama-sama menguasai tiga pelajaran yang diujikan. Potensi siswa tidak dimunculkan di sini,” ujarnya.

Menurut dia, jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. ”Mau tidak mau, arah pendidikan kita perlu dievaluasi kembali agar bisa memunculkan potensi siswa,” kata Tilaar. (ELN)

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan


Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen









SLAMET EFFENDY YUSUF

Senin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen









SLAMET EFFENDY YUSUF

Banyak Guru Belum Paham Paradigma Pembelajaran

Banyak Guru Belum Paham Paradigma Pembelajaran


Sabtu, 17 Mei 2008 | 11:43 WIB

JAKARTA,SABTU - Pergeseran paradigma proses pendidikan, menurut pakar pendidikan Diana Nomida Musnir, agaknya belum dipahami sepenuhnya oleh para pendidik di Indonesia. Perubahan paradigma dari 'pengajaran' ke 'pembelajaran' merupakan perpindahan pusat proses pendidikan dari guru ke murid, dari transfer pengetahuan ke transformasi pengetahuan. Pasalnya, guru sendiri belum siap dengan kondisi ini.

"Misalnya, akhir-akhir ini karena ramai isu kenaikan BBM, kita sering dengar istilah 'barrel' tapi nggak paham tentang istilah itu," ujar Diana dalam Workshop Nasional Penerapan Model Pembelajaran Inovatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Di Sekolah di Jakarta, Sabtu (17/5). Diana sempat menanyakan makna 'barrel' ke para peserta workshop namun ternyata banyak yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, menurut Diana, perubahan paradigma tersebut meminta para guru untuk memperkaya diri terlebih dahulu sehingga anak didik memperoleh wawasan yang kaya pula.

"Bagaimana kita mengharapkan anak didik kita utuh kalau kita sendiri tidak utuh dan tidak belar untuk utuh? Ini bisa dapat dicapai bukan dengan pembelajaran monodisiplin, multi maupun inter, tapi transdisiplin," ujar Diana. Selain itu, pada faktanya kebutuhan murid belum dijadikan sentral oleh para guru supaya potensi murid dapat digali secara optimal. "Kita ini adalah pelayan anak. tapi sampai sekarang ini, kita banyakan menuntun anak atau malah menuntut," tandas Diana.

Proses pembelajaran harus dikembangkan menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, atau yang biasa disebut PAKEM. Secara aktif, guru harus belajar memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang atau mempertanyakan siswa. Secara kreatif, guru harus mampu mengembangkan kegiatan yang beragam dengan alat bantu yang sederhana.

"Tantangan biasanya adalah alat bantu yang mahallah atau apa, tapi sebenarnya guru bisa mulai dengan sederhana, memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk menantang murid kreatif. Murid yang kreatif itu yang bisa merancang membuat sesuatu, menulis dan mengarang," tukas Diana.

Sedangkan untuk membuat sesuatu yang menyenangkan, guru harus belajar untuk tidak membuat anak takut ketika salah atau tidak menganggapnya remeh. Caranya yang sederhana, menurut Diana, melalui raut muka yang tidak segera berubah ketika anak salah menjawab sehingga anak tersebut tidak takut lagi mengeluarkan pendapatnya dalam kesempatan lain.

LIN

Education Forum Minta Pemerintah Mengubah Kebijakan UN




Senin, 14 April 2008 | 13:59 WIB

JAKARTA, SENIN-Education Forum meminta pemerintah untuk menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat juga dengan putusan Pengadilan Tinggi tanggal 21 Mei 2007 untuk mengubah kebijakan Ujian Nasional (UN).

Demikian pernyataan sikap Education Forum yang dibacakan Wakil Koordinator Education Forum Yanti Sriyulianti dalam konferensi pers yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta, Senin (14/4).

Selain menghentikan UN, EF juga meminta pemerintah melakukan beberapz hal yakni mengembalikan hak menentukan kelulusan kepada guru dan satuan pendidikan sesuai dengan UU Sisdiknas. Menyediakan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah. Selain itu, juga akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum kebijakan pelaksanaan UN.

Education Forum juga meminta pemerintah merevisi PP Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan memikirkan standardisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminasif.

"Pemerintah juga hendaknya memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan dasar-dasar bagi perubahan paradigma, kebijakan dan anggaran pendidikan nasional Indonesia. Semuanya ini diperlukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia," kata Yanti.

Bagi yang ingin menyampaikan pengaduan tentang UN, LBH membuka pos pengaduan. Masyarakat juga dapat menghubungi di nomor: 021-3145518. (DIV)

DIV

153 Peserta UN Tidak Hadir


Jangan Percaya pada Kunci Jawaban Versi SMS
Rabu, 23 April 2008 | 15:00 WIB

Bandung, Kompas - Pada hari pertama pelaksanaan ujian nasional atau UN untuk tingkat SMA, SMK, dan MA di Kota Bandung, Selasa (22/4), tercatat sebanyak 153 peserta tidak hadir. Sebagian besar karena telah mengundurkan diri sebagai peserta.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengatakan, peserta UN dari SMA di Kota Bandung berjumlah 21.472 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 54 siswa yang tidak hadir, yaitu 34 siswa beralasan sakit, dan 20 siswa mengundurkan diri.

Jumlah peserta UN sekolah menengah kejuruan (SMK) sebanyak 10.295 orang. Sebanyak 27 peserta di antaranya tidak hadir karena sakit dan 66 siswa mengundurkan diri. Jumlah peserta UN dari madrasah aliyah (MA) sebanyak 1.367 orang. Empat siswa di antaranya tak hadir karena karena sakit dan dua siswa mengundurkan diri.

Jumlah total peserta UN tingkat SMA dan SMK di Kota Bandung adalah 33.134 siswa. Sebanyak 153 siswa tidak hadir, yaitu 65 siswa beralasan sakit dan 88 orang mengundurkan diri. Menurut Oji, peserta UN yang sakit akan mengikuti ujian susulan pekan depan dengan soal yang berbeda dengan soal hari Selasa.

"Pelaksanaan ujiannya bisa digabungkan di satu sekolah, atau bisa juga dilaksanakan di rumah sakit. Bisa juga di rumah peserta ujian jika mereka masih sakit tetapi ingin mengikuti UN," kata Oji.

Pelaksanaan UN di rumah ataupun rumah sakit akan mengikuti prosedur seperti UN di sekolah dengan pengawas dua orang. Peserta yang mengundurkan diri, menurut Oji, disebabkan alasan pindah ke sekolah lain, menikah, bekerja, dan tidak memberikan alasan kepada sekolah asalnya.

Di SMA Negeri 16, Kota Bandung, pada hari pertama ujian kemarin siswa datang ke sekolah lebih awal agar tidak terlambat. Sebagian besar peserta UN sudah siap sejak pukul 07.00, satu jam sebelum UN dilangsungkan.

Di sekolah tersebut terdapat 418 peserta, yaitu 150 siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial dan 268 siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Hanya satu siswa tidak hadir karena sakit. Menurut Wahyudin, Kepala Sekolah SMA Negeri 16, peserta yang sakit bisa mengikuti UN susulan Selasa pekan depan.

"Kami sudah menerima surat pemberitahuan dari orangtua siswa," kata Wahyudin.

Menanggapi beredarnya isu jawaban lewat layanan pesan pendek (SMS), Oji berharap peserta tidak memercayai informasi tersebut. "Soal ujian terdiri dari berbagai paket. Bisa jadi deretan huruf yang dianggap kunci jawaban itu bukan berasal dari paket yang mereka terima di kelas saat ujian. SMS tersebut menyesatkan," kata Oji. Cirebon

Sementara itu, UN di Kabupaten Cirebon sedikit terkendala oleh terlambatnya pengiriman lembar jawaban komputer (LJK). Hal itu disebabkan jarak sekolah dengan Kantor Dinas Pendidikan relatif jauh. Menurut Dangisa, Kepala Bidang Program Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, Selasa, sebenarnya tidak ada masalah yang berarti dalam pengiriman kembali LJK hasil UN dari masing-masing sekolah ke kantor dinas.

LJK terlebih dahulu dikumpulkan di masing-masing subrayon, kemudian dibawa ke Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon, dan selanjutnya dikirim ke Dinas Pendidikan Jawa Barat pukul 14.30. Hingga pukul 14.00 belum ada LJK yang tiba dari lima subrayon SMA. Sesuai jadwal, LJK sudah harus masuk ke Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon pukul 14.00. (ynt/tht)

Bank Dunia Bantu Biaya Operasional Sekolah



Senin, 13 Oktober 2008 | 18:23 WIB

JAKARTA, SENIN - Di tengah krisis keuangan global, Bank Dunia tetap menyatakan komitmennya untuk membantu pemerintah Indonesia tahun depan, terutama di bidang pendidikan, khususnya Biaya Operasional Sekolah (BOS), kesehatan, infrastruktur, perkuatan pemerintahan daerah serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.

Total komitmen dana yang akan dikucurkan tahun 2009 mendatang sekitar 1,9 miliar dollar AS. Dari total itu, sebanyak 300 juta dollar atau equivalen dengan Rp 2,8 triliun akan dialokasikan khusus untuk biaya operasional sekolah (BOS). Sebagian kecil sisanya digunakan untuk pendidikan lainnya.

Demikian disampaikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta saat dihubungi Kompas di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (13/10) sore.

Menurut Paskah, komitmen tersebut disampaikan setelah pertemuan dua hari lalu antara delegasi Indonesia dengan Managing Director Bank Dunia Juan Jose Daboub dan Wakil Presiden Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur dan Pasifik Charles Adam.

Sejak Pelaksana Tugas (Plt) Menko Perekonomian, yaitu Menkeu Sri Mulyani Indrawati diminta pulang ke Jakarta, Paskah mewakili pemerintah Indonesia. Delegasi Indonesia lainnya adalah Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto dan Deputi Menneg PPN/Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo.

"Kita sebenarnya mengajukan anggaran sebesar 1,4 miliar dollar AS untuk tahun depan, namun Bank Dunia justru menambah sampai 1,9 miliar dollar AS. Dan, sebanyak 300 juta dollar akan dialokasikan untuk BOS. Sebagian kecil sisanya untuk pendidikan lainnya," ujar Paskah.

Paskah menyatakan, komitmen Bank Dunia sejalan dengan komitmen pemerintah yang akan memenuhi kewajiban 20 persen dari total penerimaan negara untuk pendidikan.

"Dengan komitmen Bank Dunia, yang cukup besar, pemerintah bisa berkosentrasi dalam pendanaan pendidikan yang 20 persen untuk gaji dan kesejahteraan guru dan dosen serta pemenuhan wajib belajar sembilan tahun serta pemenuhan sarana dan prasanana pendidikan secara nasional," lanjut Paskah.

Selama ini, dana BPS yang diterima setiap sekolah digunakan untuk memperbaiki dan memenuhi sarana dan prasarana bangunan sekolah.

HAR

UN Vs Target Kelulusan dan Kejujuran



Senin, 12 Mei 2008 | 11:15 WIB

Oleh Indra Yusuf

Ada dua hal penting terkait dengan pelaksanaan ujian nasional atau UN. Pertama, persoalan tingkat persentase dan target kelulusan yang akan dicapai sekolah. Kedua, persoalan nurani atau kejujuran dalam pelaksanaannya. Idealnya, dua hal tersebut memang harus berjalan seiringan. Target kelulusan tercapai dan pelaksanaannya pun bersih dari berbagai kecurangan.

Akan tetapi, untuk saat ini rasanya sulit keduanya dapat diraih secara bersamaan oleh suatu sekolah atau daerah tertentu. Ini mengingat masih banyak keterbatasan sarana-prasarana ataupun SDM di berbagai daerah di Indonesia.

Sekolah atau daerah akhirnya memutuskan salah satu pilihan dari dua pilihan itu walaupun tentu keduanya sama-sama membawa risiko. Namun, sekali lagi untuk saat ini, sekolah atau daerah lebih banyak memilih target kelulusan yang tinggi (baca: 100 persen) dibandingkan dengan nilai kejujuran yang hakiki. Karena memilih target kelulusan, risikonya lebih kecil atau bahkan tidak berisiko karena relatif lebih "aman". Sebab, kecurangan yang sering kali terjadi membentuk suatu jaringan yang melibatkan pihak yang semestinya mengawal kesuksesan UN.

Sementara sekolah yang memilih kejujuran akan menghadapi berbagai persoalan untuk waktu ke depannya.

Banyak pejabat dan kepala daerah atau kepala sekolah yang takut tingkat kelulusan di daerah atau sekolahnya rendah sehingga ia memberikan tekanan yang begitu besar kepada sekolah yang kemudian dilanjutkan kepada guru mata pelajaran yang di UN-kan. Mengejar target kelulusan dan rasa takut kehilangan jabatan dengan mudah akan meminggirkan nilai kejujuran demi tujuannya itu.

Nilai kejujuran semestinya menjadi ruh untuk diembuskan dalam dunia pendidikan. Namun, alih-alih membantu siswa, menyelamatkan masa depannya, dan menyelamatkan nama lembaga, ternyata sekadar merusak generasi bangsa dan meruntuhkan fondasi pendidikan dan menyelamatkan sebuah jabatan seseorang. Sulit

Sulit rasanya menemukan sekolah yang lebih mengutamakan kejujuran dibandingkan dengan angka atau target kelulusan tertentu. Sekolah yang memilih kejujuran tentu akan siap menghadapi sanksi dan cemoohan masyarakat karena hampir dipastikan akan memperoleh tingkat kelulusan yang rendah, apalagi bagi sekolah di daerah. Sekolah dihadapkan pada pilihan dilematis. Demikian juga dengan guru mata pelajaran yang secara batin mengalami pemerkosaan. Guru yang idealis bersiap-siaplah mendapatkan sanksi dan tekanan secara fisik ataupun mental dari lingkungan ia berada.

Memang sungguh ironis di negeri ini. Memilih jalan kebenaran lebih besar risikonya dibandingkan dengan yang memilih jalan keliru, yang justru relatif lebih aman. Tujuan baik penyelenggaraan UN yang diharapkan pemerintah sama sekali tidak tercapai. Pemetaan pendidikan yang akan ditunjukkan oleh hasil UN sama sekali tidak memenuhi unsur validitas dan reliabilitas.

Keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan dengan angka statistik keberhasilan UN adalah semu belaka. Pelaksanaan UN justru hanya menciptakan generasi yang selalu mengharapkan bantuan orang lain. Sebagian siswa pun telah mengetahui, ketika ujian berlangsung, mereka akan "dibantu" pihak sekolah. Bukan tidak mungkin hal ini lambat laun akan menjadi rahasia umum di kalangan siswa yang akhirnya mematikan motivasi belajar siswa.

Kita juga dapat membandingkan bahwa hasil try-out UN di sekolah-sekolah yang notabene dibuat gurunya sendiri dengan hasil UN sesungguhnya yang akan diumumkan nanti akan sangat besar standar deviasinya. Soal try-out UN lebih familiar daripada soal UN, tetapi mengapa tingkat kelulusannya jauh lebih rendah di bawah 50 persen. Adapun soal UN yang dibuat pusat justru menunjukkan hasil fantastis, lebih dari 95 persen yang lulus.

Sesungguhnya, mendeteksi sekolah/daerah yang curang dalam melaksanakan UN tentu sangat mudah bagi Departemen Pendidikan Nasional. Sebab, dengan melihat grafik analisis statistik tertentu dari hasil UN di suatu sekolah dengan bantuan seorang ahli statistik Depdiknas dapat dikenali ada tidaknya kecurangan. Apalagi, bila kita kaitkan dengan analisis butir soal dan pola jawaban yang ada.

Pastilah grafik yang dihasilkan secara murni atau alamiah akan berbeda dengan grafik yang dihasilkan melalui unsur rekayasa atau terindikasi melakukan kecurangan. Tentu ini tidak dapat dijadikan bukti, hanya setidaknya dapat menjadi indikasi awal untuk ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi di lapangan secara mendalam.

Menteri Pendidikan Nasional pernah mengatakan, "Saya tidak pernah menargetkan berapa yang lulus dan berapa yang tidak lulus. Yang paling utama adalah kejujuran peserta UN, guru, penyelenggara UN, pengawas, dan orang-orang dari Depdiknas sendiri" (Kompas, 22/4). Dari apa yang dikatakan Mendiknas, tersirat sebenarnya pemerintah ingin agar pelaksanaan UN ini bersih. UN agaknya lebih bermakna sebagai ujian kejujuran, bukan pencapaian hasil belajar. Berapa pun kenaikan standar kelulusan tidak akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan seandainya pelaksanaan UN masih seperti ini. Pengamanan dan pengawasan

Sebetulnya pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara agar pelaksanaan UN bisa jujur dan bersih, tetapi hal itu sulit tercapai bila tidak dimulai dari pihak yang terkait dengan UN, seperti siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah, atau Depdiknas. Pengawasan dan pengamanan bagaimanapun tidak akan mampu menjamin UN terselenggara dengan jujur. Sekali lagi, pengamanan dan pengawasan yang dilakukan berbagai pihak, seperti dari dinas pendidikan, tim independen (perguruan tinggi), atau sekalipun dari unsur kepolisian tidak akan berarti apa-apa jika pihak-pihak tersebut tidak mempunyai itikad baik yang kuat.

Pasalnya, selama ada pihak yang memang memiliki kepentingan terhadap keberhasilan UN, pelaksanaan UN akan jauh dari kejujuran. Selama ini pihak-pihak tertentu atau bahkan dari tim independen mengatakan, pelaksanaan UN berjalan lancar dan tanpa ada kebocoran. Bila memang begitu, perlu dipertanyakan efektivitas keberadaan tim pengawas dan pengaman UN yang telah menghabiskan anggaran yang cukup besar.

Bisa jadi mereka tidak memahami atau pura-pura tidak mengerti di mana, kapan, dan siapa yang akan melakukan kecurangan. Perlu ditegaskan, dugaan kecurangan UN tidaklah terjadi di jalan raya atau dalam bentuk pencurian soal atau pembocoran soal oleh pihak luar, melainkan diduga kuat dari dalam sendiri.

Penyelesaian masalah ini sebetulnya mudah, tinggal seberapa besar komitmen pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Langkah yang sebaiknya ditempuh adalah tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan.

Jika memang UN tetap menjadi salah satu kriteria kelulusan, pemerintah harus lebih jeli, sungguh-sungguh, dan tegas menindak pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Berikan pemahaman kepada masyarakat tentang makna kelulusan dan ketidaklulusan karena itu semua merupakan bagian dari proses pendidikan.

Dalam ujian masuk perguruan tinggi, lebih banyak yang tidak lulus dibandingkan dengan yang lulus, tetapi tak pernah ada gejolak. INDRA YUSUF Praktisi dan Peminat Masalah Pendidikan

Yusuf, Indra

Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani

Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani
/

Kamis, 26 Februari 2009 | 19:24 WIB
Laporan wartawan Yulvianus Harjono

BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.

Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, Kamis (26/2). SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.

Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.

Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.

Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.

Guru terbatas

Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.

Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.

Didik Anak Sesuai Potensi

Didik Anak Sesuai Potensi


Selasa, 17 Maret 2009 | 03:13 WIB

KOMPAS.com - Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.

Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.

Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.

SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.

Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.

”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.

Tetap konsisten

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.

Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.

Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.

Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.

Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.

Lima bidang pelajaran

Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.

Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.

Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.

Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.

Anak berbakat

Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.

Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.

Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.

Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.

Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.

Ester Lince Napitupulu


Sumber : Kompas Cetak

Pemerintah Evaluasi Daerah dengan UN Rendah

Pemerintah Evaluasi Daerah dengan UN Rendah

Jumat, 20 Juni 2008 | 20:52 WIB

JAKARTA, JUMAT - Pemerintah akan mengevaluasi sekolah dan daerah yang memiliki nilai ujian nasional terendah. Selain itu, pemerintah juga memberikan perhatian yang lebih dan kucuran dana yang cukup besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang tertinggal dalam capaian standar ujian nasional.

Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo di Jakarta, Jumat (20/6). ”Alokasi anggaran dari pemerintah dan juga bantuan dari pihak lain akan diberikan lebih besar untuk daerah yang capaian ujian nasionalnya masih rendah. Harapannya untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan di daerah tersebut,” kata Bambang.

Dari hasil ujian nasional (UN), Nusa Tenggara Timur memiliki jumlah ketidaklulusan UN tingkat SMP dan SMA tertinggi di tingkat nasional. Untuk ketidaklulusan UN SMP mencapai 53,64 persen dan tingkat SMA mencapai 32,79 persen.

Bambang mengatakan pemerintah memanfaatkan hasil UN sebagai pemetaan untuk melihat kondisi pendidikan di setiap daerah. "Seperti daerah Nusa Tenggara Timur mendapat perhatian khusus dengan berbagai macam upaya dan usaha untuk menggenjot nilai kualitas dan kuantitas UN di daerah tersebut," katanya.

Secara terpisah, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Djaali, mengatakan BSNP sudah menyerahkan laporan mengenai hasil UN siswa SMP dan SMA tahun ini kepada Mendiknas. Pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang baik untuk memenuhi delapan standar nasional pendidikan yang sudah digariskan BSNP.

”Kami minta pemerintah jangan hanya mengedepankan standar penilaian. Standar nasional pendidikan lainnya, mulai sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan, kompetensi lulusan, isi, proses, dan pengelolaan, pembiayaan pendidikan juga harus dicapai. Pencapaian tujuh standar lainnya kan untuk mendukung standar penilaian pendidikan juga,” kata Djaali.

ELN

Komitmen 20 Persen Anggaran Didukung DPRD Jabar



Kamis, 22 Mei 2008 | 20:03 WIB

Laporan Wartawan Kompas, Yulvianus Harjono

BANDUNG, KAMIS -- Ketua Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat Nur Suprianto menyambut positif komitmen keberpihakan Gubernur Jabar terpilih Ahmad Heryawan terhadap pendidikan. Sangatlah naif jika DPRD tidak ikut mendukung kebijakan itu khususnya tentang pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan mulai 2009.

Hal itu diungkapkannya, Kamis (22/5) menjawab pertanyaan wartawan mengenai sikap DPRD terkait komitmen pemenuhan anggaran 20 persen pendidikan. "Sebenarnya, sejak awal, tahun lalu, Komisi E sudah punya komitmen (pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan dari APBD)," ujarnya.

Untuk keperluan itu, Komisi E bahkan telah mendorong munculnya Nota DPRD yang berisi tuntutan pemenuhan anggaran 20 persen pen didikan. Menurutnya, niat untuk keberpihakan anggaran pendidikan selama ini selalu muncul dari DPRD, bukan eksekutif. Dari beberapa kali pembahasan RAPBD Jabar, DPRD pula yang selalu mendorong agar plafon anggaran pendidikan itu menjadi lebih tinggi dari yang ditentukan sebelumnya.

Teman-teman di dewan sudah siap dari jauh-jauh hari kongkritkan keberpihakan pada pendidikan. "Selama ini, yang terjadi, masalah itu kan ada pada eksekutif. Beberapa kali anggaran pendidikan itu dinaikkan karena dorongan dari kami, bukan eksekutif, ujar Nur kemudian. Keberpihakan politik dari dua pihak, eksekutif dan legisiatif," ungkapnya, menjadi sangat penting untuk memajukan pendidikan.

Menurutnya, pernyataan Ahmad Heryawan yang dikutip di sejumlah media massa terkait rencana pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan di tahun 2009 bak gayung bersambut. Ia pun yakin, kebijakan ini akan mendapat dukungan kuat dari dewan. "Yang jadi persoalan kemudian, tinggal bagaimana Heryawan men-drive ini menjadi rinci, harus jelas program dan sasaran apa yang ingin dicapai," paparnya.

Ia meyakini, jika memang ada keberpihakan kuat, pemenuhan anggaran 20 persen bukanlah hal yang statis. Melainkan, anggarannya bisa terus tumbuh. Menjadi 22, bahkan 25 persen dari APBD. Hal ini pula yang menjadi jawabannya dari pertanyaan 20 persen anggaran itu termasuk komponen gaji guru atau tidak. "Mengingat, Mahkamah Konstitusi sendiri telah memutuskan 20 persen anggaran itu termasuk gaji guru. Yang penting yaitu adanya keberpihakan yang tegas," ungkapnya.

Infrastruktur pendidikan

Meski mulai diarahkan pada peningkatan mutu, ia berharap, anggaran pendidikan di t ahun mendatang tetap difokuskan pada persoalan aksebilitas. Mengingat masih cukup tingginya angka putus sekolah di tingkat wajib belajar sembilan tahun. Ia mencontohkan, di Kabupaten Garut, tiap tahun ada sedikitnya 51 ribu lulusan siswa SD. Namun, jumlah daya tampung siswa tingkat SMP hanya 35 ribu orang. Artinya, ada selisih sekitar 16 ribu siswa yang tidak tertampung sekolah.

Terkait hal ini, Ahmad Heryawan optimis, pemenuhan 20 persen anggaran pendidikan akan terealisasi pada 2009. Pada tahun itu pula akan dicanangkan Gerakan Pendidikan. "Ia percaya, berkaca dari pengalaman di Jepang dan Malaysia, sektor pendidikan-lah yang menjadi kunci dari sebuah kebangkitan. Pendidikan satu-satunya alat untuk memutus mata rantai kemiskinan pada keluarga," ungkapnya.

Ia pun memahami, ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana menjadi sekian faktor penyebab tingginya putus sekolah di Jabar. Kebijakan penggratisan pada sejumlah komponen biaya pendidikan tertentu salah satunya dilakukan untuk meng atasi persoalan ini. Ia optmis, dengan dukungan multipihak, pendidikan di Jabar bakal maju ke depan. Ia pun menargetkan, selama tiga tahun ke depan, angka partisipasi murni siswa usia 9 tahun mendekati angka 100 persen.



Yulvianus Harjono

Kualitas Guru Dipersoalkan


KOMPAS/JEAN RIZAL LAYUCK
Gubernur Provinsi Maluku, Karel Albert Ralahalu.

Jumat, 2 Mei 2008 | 20:11 WIB

AMBON, JUMAT- Kualitas tenaga pengajar sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Provinsi Maluku masih rendah. Kompetensi sebagian besar guru perlu ditingkatkan karena mayoritas belum lulusan S1. Dari 21.411 guru, baru sekitar 31 persen yang lulusan S1 dan 69 persen lainnya membutuhkan peningkatan kualifikasi menjadi S1.

Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Jumat (2/5), mencontohkan, di Kabupaten Maluku Tenggara Barat hampir 90 persen guru belum S1. Kondisi serupa terdapat di kabupaten lain kecuali Kota Ambon. Kondisi ini menyebabkan kualitas pendidikan di Maluku rendah. Apalagi, sarana penunjang pendidikan seperti gedung, laboratorium dan buku belum memadai.

”Mutu guru sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kalau mutu guru tidak diperhatikan meskipun sarana dan prasarana menunjang, output akan diragukan,” ujar Ralahalu, seusai upacara Hari Pendidikan Nasional di Ambon.

Karel menilai, target utama pemerintah daerah adalah meningkatkan kualifikasi guru menjadi S1. Peningkatan kualitas pengajar akan memperbaiki kualitas pendidikan di Maluku yang saat ini menduduki peringkat 15 nasional. Untuk itu guru-guru di Maluku akan disekolahkan lagi dengan biaya APBD dan APBN melalui program sertifikasi guru.

ANG

Bangunan SD Inpres Lama Sebaiknya Direnovasi

Bangunan SD Inpres Lama Sebaiknya Direnovasi
KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Senin, 6 April 2009 | 20:11 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS.com - Bangunan-bangunan sekolah bekas SD Inpres yang dibuat tahun 1974-1977 sebaiknya dihancurkan dan diganti dengan struktur bangunan baru. Orangtua siswa khawatir, kasus seperti di SDN Sejahtera bakal terulang di masa mendatang jika tidak diantisipasi serius.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jendral Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Bandung Raya, Senin (6/4). Bangunan-banguna SD Inpres ini kan sebetulnya tidak layak. Aspek kajian teknis dan strukturnya banyak yang tidak memenuhi syarat. "Seperti halnya kasus yang terjadi di SDN Sejahtera," ucapnya.

Kekhawatiran semakin menjadi-jadi saat musim penghujan saat ini. Potensi hujan lebat disertai angin kencang semakin tinggi dan bukan tidak mungkin memicu robohnya atap bangunan SD-SD Inpres yang kualitasnya rendah dan t erus dimakan usia. Dwi pun mengusulkan SD-SD yang dibuat zaman Orde Baru ini digantikan bangunan baru. Tidak perlu direhabilitasi seperti halnya kasus di SDN Sejahtera.

Sekeratis Dinas Pendidikan Kota Bandung Dadang Iradi membenarkan, struktur bangunan SD Inpres relatif lebih rentan dibandingkan bangunan SD yang dibuat zaman lainnya, termasuk yang usianya lebih tua. Kan pembangunannya menggunakan sistem darurat saat itu. "Mengejar jumlah. Dinding hanya terbuat dari batako dan atapnya asbes," ucapnya.

Ironisnya, sebagian dari sekolah rusak yang ada di Kota Bandung saat ini adalah SD-SD Inpres. Total ruang kelas rusak yang tercatat saat ini adalah 1.500 buah. Lagian, kami pun sebetulnya masih membutuhkan ruang-ruang kelas baru. Target rehabilitasi ini sampai 2010, ucapnya. Tahun ini, Pemkot Bandung menganggarkan dana rehabilitasi Rp 42 miliar dan untuk pengadaan ruang kelas baru Rp 11 miliar.

Tahun 2009 ini ada 90 sekolah yang mendapatkan proyek rehabilitasi dari dana role sharing . Di lain pihak, pada ta hun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak lagi mengaggarkan dana role sharing rehabilitasi dan pengadaan ruang kelas baru. Program ini akan di;anjurkan lagi tahun 2010. Di Bandung, perbaikan sarana prasarana menjadi program prioritas selain mewujudkan pendidikan dasar secara cuma-cuma.

Kontrol masyarakat

Ketua Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia Eko Purwono mengatakan, kasus di SDN Sejahtera sebetulnya tidak perlu terjadi apabila masyarakat lebih dilibatkan aktif di dalam pengawasan dan proyek rehabilitasi gedung sekolah. Mengacu kepada ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan, masyarakat berhak memberi masukan tentang rencana teknis dan tata bangunan.

Bahkan, bisa melaksanakan gugatan perwakilan terhadap bangunan gedung yang bisa membahayakan, tuturnya. Dwi Subawanto sependapat dengan hal ini. Sayangnya, menurutnya, tidak tiap sekolah mau memberi ruang yang luas terhadap partisipasi publik dalam perencanaan atau pengerjaan proyek di sekolah.

Sering terjadi, komite sekolah (wakil dari masyarakat) justru tidak dilibatkan, ucapnya. Ia menduga, hal ini juga terjadi di dalam kasus ambruknya ruang kelas di SDN Sejahtera. Padahal, ucapnya, apalagi di swakelola, keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan sangatlah dibenarkan. "Jadi, bukan hanya urusan kepsek semata," ucapnya.

Hal ini dibenarkan Kepala Seksi Pembinaan TK dan SD Bidang Pendidikan Dasar Disdik Provinsi Jawa Barat Uuh Suparman. Sistem swakelola justru merangsang adanya partisipasi aktif dari masyarakat. Dana Rp 4 juta sebetulnya kan terbatas. "Dari sini justru diharapkan adanya sumbangsih masyarakat, misalnya tenaga," ucapnya.

Mendiknas: Biaya Buku Mestinya Tidak Memberatkan Lagi

Mendiknas: Biaya Buku Mestinya Tidak Memberatkan Lagi


Selasa, 15 Juli 2008 | 22:54 WIB

SLEMAN, SELASA - Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan pemerintah sudah membagikan buku digital ke dinas pendidikan kota dan kabupaten dalam rangka menekan biaya pembelian buku. Untuk itu, mestinya beban biaya pendidikan untuk buku mestinya tidak memberatkan.

"Tidak ada alasan bagi para kepala dinas pendidikan kota maupun kabupaten untuk tidak menyebarkannya," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai membuka Festival Seni Internasional 2008 di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (15/7).

Dinas pendidikan kota dan kabupaten, lanjut Mendiknas, sudah diberikan akses untuk mengunduh melalui internet dan dibagikan buku digital ini dalam bentuk compact disc (CD). "Jika biaya buku sampai mahal berarti kesalahan ada di mereka (kepala dinas kota dan kabupaten) ini," ucap Mendiknas.

Mendiknas mengatakan, akan menambah jumlah buku digital dari 49 judul menjadi 284 judul yang siap diluncurkan pada akhir bulan Juli ini. "Hal itu ditujukan untuk meringankan biaya buku," katanya.

Mendiknas menegaskan, apabila masih ada sekolah yang memungut biaya buku yang dinilai mahal oleh orangtua dan siswa maka akan ditindaklanjuti oleh Depdiknas. "Akan kami periksa soal biaya tersebut," katanya.

Buku teks yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah tersebut dapat diunduh melalui http://bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id, www.pusbuk.or.id, dan www.sibi.or.id. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD-SMA, soal buku teks dan pelajaran ini termasuk prasarana yang wajib disediakan sekolah sebagai syarat telah memenuhi standar nasional pendidikan.

NAS
Sumber : Kompas

DPRD Meminta Ada Standardisasi Biaya Minimal Sekolah



Senin, 7 April 2008 | 18:44 WIB

GRESIK, SENIN - Ketua DPRD Gresik Ahmad Nadir meminta ada standardisasi minimal biaya sekolah khususnya menyangkut biaya masuk untuk pendaftaran siswa baru di Gresik. Jika orang tua masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi alokasi anggaran pendidikan yang tinggi hingga 20 persen akan percuma. Nadir meminta Komisi D DPRD Gresik berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Dewan pendidikan Gresik untuk menetapkan standar minimal biaya masuk sekolah sesuai dengan kelas sekolah.

Dia tidak melarang sekolah menarik biaya pendaftaraan hingga jutaan rupiah asalkan harus diikuti konsekuensi anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan operasional sekolah. Selama ini anggaran pemerintah hanya untuk membayar gaji guru. "Percuma saja, APBD untuk pendidikan dialokasikan tinggi, jika dalam kenyataan pihak sekolah masih membebeni orang tua siswa," kata Nadir usai Laporan Keterangan Pertanggungjawawaban Bupati Gresik Robbach Ma'sum.

Selain membuat standarisasi biaya minimal pendidikan, Nadir juga meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gresik mendata ulang biaya pendaftaran agar bisa dilakukan pengawasan. Tujuannya dinas pendidikan dapat mengontrol sekolah, supaya tidak merugikan orang tua murid.

"Setelah biaya minimal sekolah bisa dirumuskan barulah ditetapkan dalam regulasi untuk diaplikasikan ke masing-masing sekolah. Langkah sekolah menarik biaya tinggi saat ini tidak ada aturannya," kata Nadir.

Ketua Komisi D DPRD Gresik, Syafiqi Mahfudz Zein menyatakan akan memanggil pihak-pihak terkait. Jika memang penarikan biaya penerimaan siswa baru (PSB) di Sekolah Dasar Negeri dikeluhkan akan digelar dengar pendapat. Pihaknya akan meminta penjelasan seputar uang gedung sebesar Rp 2,5 juta dan proses PSB.

"Ada hal yang kami nilai keliru dan perlu diluruskan yakni saat ini seleksi SD dilakukan ketika siswa TK belum lulus. Seharusnya PSB digelar ketika murid TK sudah lulus, sebagaimana PSB di SMP dan SMA," jelas Syafiqi.

Sementara Anggota Dewan Pendidikan Gresik, Nur Faqih menyatakan pihaknya tengah melakukan survei untuk mencari fotmat standardisasi biaya minimal pendidikan di Gresik mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama hingga sekolah menangah atas dan yang sederajat.

Dia meminta sekolah tidak membebani orang tua siswa dengan biaya sekolah yang mahal. Penarikan biaya harus disepakati Komite sekolah tetapi besarannya tidak bisa dipatok lebih dulu. Tugas pemerintah menyediakan sarana prasarana sekolah bila dinilai kurang bisa diambil dari sumbangan orang tua tetapi besarnya tidak ditetapkan sepihak oleh sekolah.

Menurut dia selama ini Gresik belum memiliki kepastian anggaran pendidikan sehingga menimbulkan variasi biaya pendidikan di setiap sekolah yang memberatkan orang tua. Oleh karena itu harus dicari standardisasi biaya minimal sekolah agar tidak merugikan orang tua. Parameter yang dipakai Dewan Pendidikan Gresik untuk menentukan standar tersebut diantaranya biaya-biaya pokok yang dikeluarkan orang tua sekolah untuk biaya alat-alat sekolah, seragam, hingga prasana sekolah.

Dari berbagai indikator yang ada akan diperoleh biaya minimal yang harus ditanggung orang tua, dan dipilah mana biaya pendidikan yang ditanggung sekolah, pemerintah dan orang tua serta masyarakat. Semua ada standarnya sebab sebenarnya biaya pendidikan itu tanpa batas. "Berapa pun biayanya selalu kurang. Buktinya meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS) dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dihapuskan selalu masih ada tarikan untuk siswa," katanya.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik, Chusaini Mustaz mengemukakan penarikan uang gedung mestinya dilakukan pada saat mulai tahun ajaran baru. Hal itu diawali komite sekolah mengajak orang tua untuk menyampaikan kebutuhan pembangunan sekolah. "Kebutuhan masing-masing biaya harus dimusyawarahkan dulu. Sekolah tidak dibenarkan memutuskan sumbangan secara sepihak," jelasnya.

Terkait besarnya tarikan untuk orang tua siswa baru di SD Negeri Sidokumpul II Gresik Anggota Komite Sekolah Abdul Harus Irianto menjelaskan sumbangan uang gedung sebelumnya sudah dimusyawarahkan dengan pihak sekolah. Biaya pembangunan sekolah jika dikalk ulasi mencapai Rp 275 juta diantaranya untuk fasilitas perpustakaan Rp 181 juta, pembuatan taman adiwiyata Rp 25 juta, pengadaan lima unit komputer Rp 5 juta, pemasangan keramik di enam kelas Rp 38 juta. "Setelah dimusyawarahkan tiap satu siswa dikenai sumbangan bervariasi Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta," jelasnya.

Sementara itu pada penerimaan siswa baru SD Negeri Sidokumpul II tahun ajaran 2008/2009 tercatat ada 215 calon siswa dan diterima 105 siswa. Biaya uang pendaftaran Rp 40.000, biaya daftar ulang Rp 1,335 juta, dan sumbangan sarana prasarana minimal Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. (ACI)


Tabel Biaya Masuk SDN Sidokumpul 2 Tahun Ajaran 2008/2009



Pendaftar: 215 Calon Siswa

Diterima: 105 Siswa

Biaya Uang Pendaftaran: Rp 40.000

Biaya Daftar Ulang: Rp 1.335.000

Sumbangan Sarana Prasarana: Minimal Rp 2 Juta Perorang



Biaya Pembangunan : Rp 275 Juta

1.Gedung Perpustakaaan: Rp 181 Juta

2.Taman Adidwiyata: Rp 25 Juta

3.Komputer 5 Unit: Rp 25 Juta

4.Pemasangan Keramik 6 kls: Rp 48 Juta



Sumber : Hasil Rapat Komite SDN Sidokumpul 2 Minggu (6/4)





ACI

KSAL Naikkan 15 Persen Anggaran Pendidikan TNI AL



Kamis, 17 Januari 2008 | 17:10 WIB

JAKARTA, KAMIS - Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Sumardjono berencana menaikkan alokasi anggaran pendidikan di lingkungan institusinya sekitar 10-15 persen dari besaran alokasi anggaran serupa, yang dianggarkan tahun lalu.

Menurut Sumardjono, hal itu terkait dengan makin tingginya tuntutan kemajuan teknologi yang ada terutama dalam konteks teknologi persenjataan maritim serta perkembangan lingkungan strategis dunia termasuk di kawasan nasional, regional, dan global.

Sumardjono menyampaikan hal itu, Kamis (17/1), usai menyerahterimakan jabatan Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI AL (Danseskoal) dari penjabat lama Laksamana Muda Moh Sunarto ke Laksamana Pertama Mochamad Jurianto.

”Kalau tidak dari sekarang kita mencoba meningkatkan kualitas pendidikan, terutama di tubuh TNI Angkatan Laut, kita akan terus ketinggalan. Sementara negara di sekitar kita sudah menggunakan konsep-konsep modern sementara kita di sini masih yang tradisional,” ujar Sumardjono.

Dengan penambahan alokasi anggaran, meski dianggap relatif masih kecil dari yang dibutuhkan sebenarnya, Sumardjono berharap akan muncul pembaruan serta ide-ide kreatif terkait kajian-kajian strategis untuk pengembangan TNI AL ke depan.

”Nantinya penambahan alokasi anggaran pendidikan tadi akan difokuskan untuk perbaikan kurikulum, sarana-prasarana pendidikan serta pengajaran. Jangan seperti sekarang, misalnya, kurikulum yang diajarkan ke saya dahulu masih diajarkan sampai sekarang,” ujar Sumardjono.

Lebih lanjut dari data Departemen Pertahanan, alokasi anggaran tahun 2008 bidang pertahanan, khususnya yang dianggarkan untuk TNI Angkatan Laut, secara nominal berada pada peringkat ketiga terbesar, sekitar 5,5 triliun rupiah atau setara dengan 15 persen dari total anggaran pertahanan sekitar 36,4 triliun rupiah.

Besaran yang diperoleh tersebut secara nominal memang mengalami kenaikan dari alokasi anggaran tahun 2007, sebesar 4,9 triliun rupiah dari total alokasi anggaran pertahanan dari pemerintah sebesar 32,6 triliun rupiah.

Sayangnya, seperti diwartakan sebelumnya, alokasi anggaran pertahanan, baik secara umum maupun setelah didistribusikan ke masing-masing matra angkatan, Dephan, dan Markas Besar TNI, kebanyakan masih didominasi penggunaannya untuk membiayai pos belanja pegawai.

Secara keseluruhan, dari total anggaran pertahanan tahun 2008 sebesar 36,4 triliun rupiah, nyaris separuhnya diproyeksikan untuk membayar gaji, honor, dan berbagai tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) serta prajurit TNI di lingkungan Dephan dan TNI, baik di Mabes TNI maupun ketiga matra angkatan.

Sebagai ilustrasi, besaran belanja pegawai anggaran pertahanan tahun anggaran 2008 secara keseluruhan mencapai sekitar 17,76 triliun rupiah (49 persen). Sementara alokasi dana untuk pos belanja modal mencapai sekitar 10,2 triliun rupiah (28 persen) dan alokasi belanja barang sekitar 8,4 triliun rupiah (23 persen). (DWA)

Pemkab Keerom Prioritaskan Pendidikan di Perbatasan RI-PNG


KOMPAS/KENEDI NURHAN
Pendidikan di Pedalaman Papua.

Rabu, 5 Maret 2008 | 05:35 WIB

JAYAPURA, RABU - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Keerom, Provinsi Papua memprioritaskan pembangunan pendidikan, baik pembangunan fisik sekolah, pengadaan peralatan pendukung proses belajar-mengajar maupun pembangunan mutu pendidik dan peserta didik di sekolah-sekolah yang berada di wilayah perbatasan Republik Indonesia dengan Papua Nugini (PNG).

Hal itu disampaikan Bupati Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, wilayah yang berbatasan langsung dengan PNG, Drs Celsius Watae di Arso, ibu kota Kabupaten Keerom, Selasa (4/3) sehubungan dengan dimulainya kegiatan kunjungan ke kampung-kampung atau lazim disebut "turun kampung" (Turkam) guna melihat dari dekat perkembangan pembangunan sekaligus berdialog dengan rakyat di kampung.

"Pemerintah memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah di wilayah perbatasan RI dengan PNG karena melalui pendidikan yang bermutu, rakyat setempat dapat keluar dari lingkaran kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan yang selama ini melilit kehidupan mereka," katanya.

Dia mengatakan, sampai hari ini, proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah perbatasan RI dengan PNG berjalan baik walaupun diketahui bahwa masih terdapat beberapa guru yang meninggalkan tempat tugas mereka untuk kembali bermukim di wilayah perkotaan.

Hal ini, menurut Celsius, dapat diatasi dengan peningkatan pengawasan terhadap guru oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Keerom.

Dia menepis pendapat sebagian kalangan yang menyatakan bahwa yang terpenting adalah meningkatkan mutu pendidikan ketimbang melakukan pembangunan fisik sekolah. "Bagaimanapun juga pembangunan fisik sekolah dan penyediaan sarana-prasarana pendidikan lainnya merupakan hal penting dalam menunjang mutu pendidikan. Bagaimanamungkin kita dapat meningkatkan mutu peserta didik kalau anak-anak didik belajar di bawah gedung sekolah yang beratapkan langit," katanya.

Pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai agar proses belajar mengajar di sekolah dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dapat berjalan lancar.

Sedangkan mengenai upaya meningkatkan mutu para guru, Bupati Celsius mengatakan, pihaknya mengupayakan berbagai program antara lain memberikan kesempatan dan dana bagi para guru untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, baik yang berada di Jayapura maupun di luar wilayah ini. "Dengan demikian, kita bisa mendapatkan pendidik yang bermutu untuk mendidik peserta didik di wilayah perbatasan RI-PNG secara baik dan profesional," ujarnya.

Celsius menambahkan, pada Kamis (6/3) pihaknya mulai melakukan Turkam ke kampung-kampung pedalaman dan terisolasi guna melihat dari dekat proses pembangunan di segala bidang kehidupan termasuk berdialog dengan rakyat untuk menjaring aspirasi mereka guna membangun kehidupan bersama yang lebih adil dan sejahtera. (ANT/IMA)

Kenaikan Standar Kelulusan UN Makin Memberatkan NTT



Jumat, 30 Januari 2009 | 18:57 WIB

KUPANG, JUMAT — Kenaikan standar nilai ujian nasional (UN) dari 50,25 menjadi 50,50 semakin memberatkan tingkat kelulusan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika pemerintah memberlakukan standar kelulusan 50,25 saja daerah ini berada pada urutan terakhir dari seluruh provinsi.

Pengamat Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT), John Manulangga, di Kupang, Jumat (30/1), menilai, Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan ada delapan standar.

Kedelapan standar itu antara lain kelulusan nasional, sarana dan prasarana pendidikan, guru, dan standar kurikulum. Namun, sampai hari ini pemerintah hanya menerapkan secara nasional, yakni standar kelulusan.

“Soal sarana dan prasarana pendidikan, mutu guru, kurikulum, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, dan seterusnya tidak mendapat perhatian. Mungkin sekolah-sekolah di Jakarta atau kota-kota besar sudah terpenuhi kedelapan standar itu, tetapi di daerah-daerah belum sama sekali,” katanya.

Mantan Kepala Dinas Pendidikan NTT ini menuturkan, pemerintah hanya menerapkan standar kelulusan nasional, tetapi mengabaikan tujuh standar lainnya. Padahal, kedelapan standar itu merupakan satu kesatuan, yang saling menunjang untuk menentukan standar kelulusan sebuah ujian nasional.

Di NTT masih banyak sekolah dasar dan menengah tidak punya laboratorium dan perpustakaan sekolah, guru-guru yang mengajar di SD 95 persen lulus sekolah menengah, ribuan sekolah dasar dan menengah tidak memiliki guru eksakta, dan partisipasi orangtua siswa masih sangat rendah.

Penetapan standar nilai kelulusan nasional tahun 2008 sebesar 50,25 saja NTT hanya menempati 65 persen untuk tingkat SMA/SMK, SMP 46 persen, dan SD 34 persen. Secara nasional, mutu pendidikan di NTT berada pada urutan terakhir dari seluruh provinsi.

Jika standar nilai kelulusan itu dinaikan lagi pada UN 2009 menjadi 50,50 maka persentase kelulusan dalam ujian nasional (UN) makin terpuruk. Makin banyak sekolah peserta UN tidak mampu meluluskan siswa sama sekali seperti tahun 2007 dan 2008.

Apalagi kalau tidak ada upaya pembaruan dari pemda provinsi dan kabupaten/kota setelah UN tahun 2008. Semestinya kegagalan dalam UN tahun 2007 dan 2008 dievaluasi bersama untuk melihat titik lemahnya, kemudian dilakukan perbaikan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga NTT Tobi Uly membenarkan, dengan kenaikan standar kelulusan itu, NTT makin terpuruk. Namun ia mengakui, sejak September 2008 telah melakukan persiapan UN bekerja sama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan guna menyusun standar kompetensi kelulusaan bayangan bagi seluruh SMP dan SMA/SMK.

“Anak-anak calon peserta ujian dikategorikan ke dalam kelompok merah, kuning, dan hijau. Mengerjakan soal-soal berstandar nasional. Dengan ini bimbingan kelompok lebih terarah, dan kita sudah bisa punya gambaran hasil ujian nasional nanti,” kata Uly.

Persiapan serupa akan dilakukan lagi Februari 2009. Para siswa calon peserta UN mengerjakan soal-soal sesuai standar kompetensi kelulusan nasional. Selain itu meningkatkan kompetensi guru.

Peserta UN 2009 untuk SD sebanyak 97.800 siswa, SMP 68.268 siswa, dan peserta SMA 38.069 siswa. SMK sebanyak 8.942 atau naik 2,65 persen. Ujian Nasional tingkat SMA/SMK 20 April 2009, sementara SMP 27 April 2009, dan SD 11 Mei 2009.

KOR

UN Harus Dihentikan

UN Harus Dihentikan

Rabu, 30 April 2008 | 00:45 WIB

Doni Koesoema A

Tidak pernah dalam sejarah Indonesia modern, status guru begitu terpuruk seperti sekarang, menjadi teroris. Pasukan Densus 88 Antiteror adalah satuan elite polisi untuk memburu teroris. Kini, mereka juga menggerebek dan menangkap guru. Hal ini patut disayangkan.

Namun, pokok persoalan bukan di situ. Sistem ujian nasional (UN)-lah yang telah memberangus otonomi guru. Kebobrokan itu ada dalam sistem, bukan dalam individu guru.

Kebijakan UN secara sistematis telah memaksa guru memikul beban berat di luar tanggung jawabnya berhadapan dengan kepentingan orangtua dan siswa. Kebijakan UN memaksa mereka menjadi pelaku kecurangan dan kriminal, bahkan teroris. Fakta inilah yang ingin ditutup-tutupi dengan mengambinghitamkan para guru yang tertangkap basah. Kebijakan seperti ini jelas tidak pada tempatnya diberlakukan di negeri yang sesungguhnya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan.

Tanggung jawab pemerintah

Pemerintah ingin lari dari tanggung jawab atas ketidakbecusan mengelola pendidikan dengan melokalisasi tanggung jawab, yaitu pada korps guru. Guru merupakan penanggung jawab utama kebobrokan pendidikan kita. Itulah pesan utama penangkapan guru oleh Densus 88 Antiteror.

Kini Indonesia sedang memasuki masa teknokrasi absolut dalam pendidikan, di mana proses belajar mengajar hanya dinilai melalui angka-angka hasil ujian yang sama sekali abai terhadap kenyataan, kesulitan, dan kompleksitas persoalan pendidikan di lapangan.

Data nilai UN sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi di lapangan. Nilai itu tidak berbicara sama sekali tentang bagaimana hancurnya sarana-prasarana pendidikan yang ada. Nilai UN juga tidak berbicara sama sekali tentang kualitas guru di lapangan.

Melokalisasi tanggung jawab dan menilai keberhasilan pendidikan semata-mata melalui angka-angka keberhasilan UN sebenarnya mengaburkan atau bahkan menutupi ketidakmampuan pemerintah sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta bertanggung jawab menyediakan guru-guru berkualitas bagi dunia pendidikan. Inilah yang ingin ditutupi melalui UN. Pemerintah lari dari tanggung jawab sebab mereka tidak mampu melaksanakan semua ini.

Lebih dari itu, afirmasi pengadilan tinggi atas kemenangan class action warga negara terhadap kebijakan UN menunjukkan, sejak reformasi digulirkan 10 tahun lalu, pemerintah kita bukannya menjadi semakin demokratis, melainkan menjadi semakin otoriter. Ini merupakan tata cara kehidupan berdemokrasi yang memalukan!

Melakukan kecurangan dalam UN tentu ”mencederai kesucian lembar jawaban UN” sebagaimana dikatakan Menteri Pendidikan Nasional. Namun, tetap melanggengkan kebijakan UN seperti sekarang juga mencederai kesucian martabat guru yang jika diteruskan akan berakibat fatal bagi kelangsungan pendidikan di negeri ini dalam jangka panjang.

Beberapa guru di Papua mulai memikirkan, apakah tidak lebih baik mereka memilih profesi lain selain guru sebab kini profesi guru sudah tidak berharga lagi ketimbang profesi tukang ojek atau tukang becak. Jika menjadi guru berakhir dalam penjara, mereka akan memilih pekerjaan yang lebih memberi kedamaian dan kesejahteraan, menjadi tukang ojek, tukang becak, atau apa saja asal aman dan halal.

Tidak ada sebuah masyarakat yang kokoh jika mereka meremehkan kehadiran guru. Negeri kita sudah mengalami defisit guru yang bermutu karena pemerintah telah gagal memberi kesejahteraan ekonomi terhadap mereka.

Kini, terhadap mereka yang masih bertahan, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menghancurkan profesi mereka secara sosial dan kultural, dengan memosisikannya sebagai teroris dan penjahat.

Hari ini dan di masa depan, kita akan kehilangan orang-orang istimewa yang masih punya hati dan komitmen untuk mendidik anak-anak bangsa. Jika dulu mereka masih bertahan bahkan dalam kesulitan ekonomi, kini guncangan sosial dan kultural atas citra guru sebagai teroris akan membuat mereka yang bertahan menjadi guru segera meninggalkannya. Maka, tidak akan banyak generasi muda kita tertarik menjadi guru.

Arogansi kekuasaan

UN adalah cela dan noda nasional. Ia menjadi saksi ketidakseriusan pemerintahan dalam mengelola dunia pendidikan. Mengorbankan guru dan siswa atas nama kebijakan politik pendidikan jangka pendek merupakan sebuah arogansi kekuasaan yang sama sekali tidak memerhatikan keberlangsungan dunia pendidikan dalam jangka panjang.

Dalam kenyataan, kebijakan UN secara sistematis telah menghancurkan dunia pendidikan pada tingkat sekolah dan menimbulkan konflik antar-guru-siswa- orangtua-masyarakat.

Sesungguhnya tidak hanya biaya sosial politik dan ekonomi yang dihambur-hamburkan demi menjalankan kebijakan pendidikan yang salah sasaran seperti UN, tetapi lebih dari itu, biaya kultural dan psikologis yang dipikul, baik terhadap guru maupun siswa, merupakan ongkos yang tidak dapat dinilai dengan uang. Jika kita ingin membarui dan mereformasi dunia pendidikan secara berkesinambungan (sustainable) dan tepat sasaran, kebijakan UN harus segera dihentikan!

Pemerintah harus mencari cara-cara alternatif dengan mengembalikan kembali otonomi guru, memulihkan citra dan wibawa mereka sebagai pendidik, dan dengan serius membantu meningkatkan profesionalisme mereka. UN merupakan sebuah kebijakan politik pendidikan yang dalam jangka panjang akan kian menjerumuskan dunia pendidikan kita pada kehancuran.

Arogansi kekuasaan dalam UN akan membuat bangsa ini kehilangan orang- orang berintegritas dan terdidik yang masih memiliki hati terhadap dunia pendidikan. Hanya melalui kehadiran orang- orang berintegritas seperti ini, dunia pendidikan kita mampu bangkit berdiri. Sayang, orang-orang seperti ini kian tersingkir karena kebijakan UN. Kebijakan UN benar-benar harus segera dihentikan!

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston