Selasa, 31 Maret 2009












Aprilliani, atau biasa di panggil avi merupakan putri pertama dari pasangan Tonii dan Yuliani Lahir di jakarta 20 April 1989. Memiliki satu adik perempuan yang bernama Jihan nita yang masih duduk di bangku sekolah Menengah Pertama Negeri 144 Jakarta Timur. Avi, memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Al-Abrar, pada usia lima tahun, merupakan salah satu siswi yang agak aktif. Pada saat belajar di Taman Kanak-kanak pernah mengikuti lomba menghapal ayat suci Al-Qur'an Tingkat Jakarta Utara, yang pada saat itu mendapatkan juara I. Foto ini di ambil ketika Avi berusia satu tahun, pada saat itu masih tinggal di Kayu Tinggi, bersama neneknya Tumbuh dalam keluarga yang cukup disiplin dalam segala hal dan di bimbing cukup keras oleh kedua orang tuanya.


Setelah lulus dariTaman Kanak-Kanak Al-Abrar lAvi melanjutkan sekolahnya di tingkat Madrasah Ibtidaiyah Yurja Cakung Jakarta Timur. Memiliki cukup banyak teman yang cocok dengannya, pada saat duduk di bangku kelas 6 MI pernah mengikuti lomba cerdas cermat kelompok tingkat Jakarta Timur dan mendapat juara III. Masa-masa di MI jarang di habiskan bersama teman-teman sebaya, kegiatan rutinnya hanya sekolah dan mengaji di siang sampai malam hari,

Setelah ituAvi melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Yurja Jakarta Timur, sekolah ini letaknya tidakjauh dari MI avi berasal. Pada awal memasuki MTs

avi dapat mengikuti pelajaran dengan dan baik bergaul dan menyesuaikan diri dengan cepat terhadap teman-teman barunya. April sempat ikut dalam Organisasi Intra Sekolah yang ada di sekolah ini, dia juga mengikuti ekskul-ekskul seperti Paskibra di sekolahnya, Avi juga sempat mendapatkan peringkat kedua di kelas satu, peringkat empat di kelas dua pada waktu itu. dan peringkat sepuluh besar pada ujian nasional dari dua ratus sembilan belas murid.


SekolahMenengah Atas Negeri 75 menjadi tingkat pendidikan terakhirnya sebelum memasuki perguruan tinggi.namun sempat menjadi salah satu panitia prom night . di SMA banyak yang Avi dapatkan pada masa sekolahnya ini. Persahabatan, kebersamaan, kekompakan dalam menjalin suatu

hubungan yang dapat diartikan seperti keluarga sudah ia dapatkan di sini, bahkan rasa sayang kepada seseorangpun telah ia rasakan di sini. “ di SMA saya merasa dapat keluarga baru, keluarga yang selalu ada di setiap suasana, yang mampu mengembangkan senyum ketika saya dirundung kesedihan, keceriaan, kekompakan, dan kasih sayangsahabat-sahabat yang selalu saya rindukan, semua terlalu cepat dijalani bagi saya..” .



Kini April menjadi salah satu mahasiswa di Universitas Negeri jakarta Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Manajemen Pendidikan angkatan tahun 2007. “ dulu cita-cita saya cukup banyak, yaitu manager bank, . Tapi kini cita-cita/visi saya adalah, saya ingin menjadi seseorang yang berguna di bidang pendidikan dari hal yang dianggap kecil sampai yang paling besar yaitu dari petudas TU sampai

menjadi Menteri Pendidikan, namun saya sangat berharap dapat menjadi konsultan pendidikan yang sangat dipercaya jasanya. Misi atau usaha saya untuk cita-cita saya sekarang ini, saya sedang terus belajar dengan baik dan lebih baik lagi di setiap harinya dan terus berdoa agar Allah SWT melancarkan semua jalan untuk saya mencapai cita-cita yang saya inginkan.

Senin, 16 Maret 2009

UN Harus Diikuti Peningkatan Sarana dan Prasarana Sekolah

Senin, 7 April 2008 | 15:44 WIB

JAKARTA, SENIN - Ujian Nasional (UN) sebagai standar mutu pendidikan hendaknya diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta tenaga guru. Jika tidak standar mutu yang ditetapkan selalu minimalis. Demikian komentar Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komarudin Hidayat terhadap UN saat ditemui dalam acara peluncuran Program Open, Distance and E-Learning untuk Transformasi Masyarakat Islam Melalui Pesantren di Hotel Nikko, Jakarta, Senin (7/4).

"Menurut saya jika penetapan standar tidak diikuti fasilitas sarana dan guru, maka implikasinya UN standarnya tidak naik-naik, selalu minimalis, selalu kalah bersaing dengan negara lain," kata Komarrudin.

Penyelenggaraan UN tanpa melengkapi sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia, lanjut Komarrudin juga merupakan ketidakadilan bagi mereka yang tidak memiliki fasilitas dan tenaga guru yang memadai. "Seperti sekolah-sekolah di daerah terpencil yang bangunannya tidak layak, gurunya cuma satu, sekolahnya bocor, kalau diperlakukan sama, yah kasihan," katanya.

Saat ditanya tentang pro kontra UN dijadikan sebagai syarat kelulusan, Komarrudin menjawab, "Karena (UN) sudah berjalan, kita ikuti saja, lalu disurvei plus-minusnya. Kalau saya belum bisa (memilih pro atau kontra) karena saya belum punya data-data yang akurat. Kita nggak bisa ngomong pernyataan politik tanpa ada data yang akurat, kalau selama ini kecenderungan orang kan hanya opini."

Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan saat ini tidak ada keresahan dalam masyarakat mengenai UN, semua pihak mendukung. "Tidak ada keresahan, yang ada kesigapan. Saya baca dimana-mana, baik koran pusat dan daerah, pemerintah daerah maupun orang tua supaya memberikan dukungan yang resahkan cuma wartawan," ujarnya.

DIV

TMII Akan Buat Pendidikan Kebudayaan

Sabtu, 25 Oktober 2008 | 03:57 WIB

JAKARTA, SABTU - Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akan membuat paket pendidikan kebudayaan untuk membantu menjembatani kesenjangan kebudayaan di Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Indonesia.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Operasional TMII, Ade F Meyliala, ketika acara pemaparan visi dan rencana TMII ke depan di Museum Indonesia TMII, Jakarta, Jumat (24/10) sore kemarin.

"Paket pendidikan kebudayaan akan diselenggarakan setiap Senin hingga Jumat pada jam kerja. Kami akan memberikan buku panduan, audio video, dan contoh nyata yang ada di TMII kepada peserta. Bagi siswa yang telah mengikutinya akan mendapat sertifikat khusus kebudayaan dari TMII," ujar Ade.

Selain itu, kata Ade, paket pendidikan tersebut akan dilengkapi dengan laboratorium dan konservasi kebudayaan yang ada di TMII. "Karena laboratorium dan konservasi kebudayaan yang ada di TMII saat ini, bisa dikatakan terlengkap dan terbesar di dunia," bangga wanita paruh baya itu.

Namun Ade menjelaskan, sampai saat ini pihaknya masih belum menerima balasan dari Departemen Pendidikan Nasional, tentang kurikulum yang telah mereka ajukan. "Sampai saat ini kami masih menunggu jawaban dari Depdiknas, tentang kurikulum yang kami usulkan," terang Ade.

Selain pelajar SLTP dan SMU, Manajemen TMII akan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang peduli akan penelitian dan pengembangan kebudayaan di nusantara. "Itu adalah salah satu bentuk kepedulian kami terhadap budaya di Indonesia, bekerjasama dengan perguruan tinggi yang juga peduli akan kebudayaan di Indonesia. Beasiswa akan kami berikan sampai dengan S3, kalau diperlukan," beber wanita murah senyum ini. (C11-08)

Pendidikan Nasional Tidak Sekadar Cetak Pekerja

Rabu, 26 Maret 2008 | 14:18 WIB

JAKARTA, RABU- Pendidikan Indonesia tidak sekadar untuk mendidik pekerja di perusahaan asing atau karyawan yang taat melayani kepentingan modal. Pendidikan bertujuan untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya.

Hal ini disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo dalam silaturrahim dengan kalangan media massa di Jakarta, Rabu (26/3). "Pendidikan kita ingin juga mencetak akademisi, peneliti, profesional, pemilik modal, singkatnya manusia seutuhnya," ujarnya.

Dasar pembenahan pendidikan, menurut Bambang, dikerjakan dengan prinsip pendidikan untuk semua, dan pendidikan sepajang hayat. "Itu sebabnya, kita juga ingin mewujudkan sebuah learning society. Dengan dasar itulah, saya percaya kalau semua pendidikan itu tidak mungkin dilakukan Depdiknas dan Depag saja," ujarnya.

Untuk itulah, menurut Bambang, dibutuhkan peran media massa untuk mendukung learning society menuju masyarakat yang lebih kreatif. "Media banyak menyediakan bahan bacaan yang dibaca banyak orang dikala senggang, sambil menunggu bus, atau yang lainnya. Media menyediakan tayangan yang akan lebih baik jika dibuat dengan kesadaran pembelajaran," ujarnya. (MAM)

Imam Prihadiyoko

Mengajar dengan Hati

Sabtu, 24 Januari 2009 | 12:59 WIB

Oleh Agus Mutohar

Kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini marak terjadi. Tak hanya pertikaian antarsiswa, bahkan kekerasan dalam dunia pendidikan sering dilakukan oleh oknum guru terhadap siswa. Anehnya, beberapa guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya berdalih demi menertibkan siswa, memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan lagi, dan alasan-alasan klise lain.

Jika kekerasan telah menjadi pemandangan biasa dalam dunia pendidikan, tak mengherankan jika banyak siswa pun melakukan tindakan yang sama dalam pengambilan keputusan terhadap masalah- masalah yang mereka hadapi. Mereka sering melakukan tawuran dan aksi-aksi kekerasan lain di lingkungan sekolah.

Mendidik dan mengajar memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu siswa memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur.

Pendewaan terhadap aspek intelektual anak didik dalam dunia pendidikan Indonesia pun telah banyak mengabaikan perkembangan kepribadian siswa. Banyak guru yang beranggapan bahwa target tanggung jawab mereka adalah menyelesaikan sebuah materi pelajaran.

Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual. Cita-cita tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Pemandangan seperti kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan berkurang jika banyak guru memahami hakikat pendidikan seperti yang tersirat dalam amanat undang-undang tersebut.

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Pada seorang guru siswa menggantungkan sejuta harapan agar menjadi pribadi cerdas dan berkepribadian luhur kelak. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.

Metode klasik

Fakta di lapangan membuktikan masih banyak guru-guru yang tidak menguasai ilmu keguruan. Mereka hanya mengajarkan materi yang berbasis pada peningkatan intelektual. Itu pun dengan metode-metode yang klasik.

Pada situasi ini, murid sering kali menuai kebosanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dr Haryono dalam seminar mencari format pendidikan berkualitas di Jawa Tengah mengatakan bahwa sekitar 5 persen peserta didik pada kelas akselerasi menghadapi kebosanan dengan pelajaran yang ada. Pendidikan yang seperti ini justru menimbulkan teror bagi siswa.

Landasan filosofis dan sosial budaya Indonesia memosisikan fungsi dan peran guru sebagai pengajar dan pendidik. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pengajar yang harus mampu mengajarkan materi- materi pelajaran, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Guru sering dianggap sebagai orang kedua, setelah orangtua anak didik dalam proses pendidikan.

Untuk bisa melaksanakan dwi fungsi sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mempunyai perubahan paradigma dalam proses belajar mengajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai obyek pembelajaran, tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Seorang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memosisikan dirinya lebih tinggi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator dan konselor yang bersifat saling melengkapi.

Dalam lingkup ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif, dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan menghargai anak didik, bukan menempatkan mereka sebagai botol yang dijejali guru dengan segudang pengetahuan. Selain itu, dalam menghadapi masalah selama proses pembelajaran hendaknya guru mampu mengajarkan penyelesaian masalah secara interdisipliner melalui pendekatan intelegensia (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ).

Guru yang mampu mengelola kelas dengan kombinasi mengajar dan mendidik akan menghasilkan generasi yang kreatif dan berbudi luhur karena mereka mampu mengenali potensi dan lingkungan mereka. Memutuskan diri menjadi seorang guru adalah panggilan hidup, sekaligus meyakinkan diri bahwa setiap tutur kata dan tindakan seorang guru adalah upaya mengantarkan sebuah peradaban menjadi lebih baik.

Mereka yang siap menjadi guru juga harus siap dengan 1.001 permasalahan di kelas yang terkadang sangat melelahkan. Mulai dari kegaduhan siswa, ketidakpatuhan siswa, bahasa siswa yang tidak sopan, dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan pekerjaannya membutuhkan kesabaran, ketulusan, dan dedikasinya dalam membimbing para siswanya untuk menjadi manusia yang cerdas, berkualitas baik pengetahuan, dan berbudi luhur.

Dalam bahasa Paulo Freire pendidikan adalah act of love. Dia mengatakan bahwa rasa cinta merupakan syarat utama mengajar. Cinta yang bersumber dari hati akan memicu totalitas seorang guru dalam mengajar.

Selain itu, Parker Palmer dalam bukunya The Courage to Teach menjelaskan bahwa menjadi guru bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Guru-guru di Indonesia yang sedang dianakemaskan pemerintah lewat program-program seperti sertifikasi hendaknya mampu menempatkan tugas mulia mereka sebagai pekerjaan yang melibatkan hati dengan penuh perhatian terhadap fenomena yang terjadi di sekolah.

Potret guru seperti yang dijelaskan oleh Freire dan Palmer inilah yang akan membawa generasi Indonesia menuju pada gerbang sumber daya yang unggul, ditandai dengan intelektualitas dan kepribadian unggul. Semoga!

Agus Mutohar Pendidik, Alumnus University of South Carolina, Amerika Serikat Tinggal di Kendal, Jateng





Mutoar, Agugs

Banyak Guru Belum Paham Paradigma Pembelajaran

abtu, 17 Mei 2008 | 11:43 WIB

JAKARTA,SABTU - Pergeseran paradigma proses pendidikan, menurut pakar pendidikan Diana Nomida Musnir, agaknya belum dipahami sepenuhnya oleh para pendidik di Indonesia. Perubahan paradigma dari 'pengajaran' ke 'pembelajaran' merupakan perpindahan pusat proses pendidikan dari guru ke murid, dari transfer pengetahuan ke transformasi pengetahuan. Pasalnya, guru sendiri belum siap dengan kondisi ini.

"Misalnya, akhir-akhir ini karena ramai isu kenaikan BBM, kita sering dengar istilah 'barrel' tapi nggak paham tentang istilah itu," ujar Diana dalam Workshop Nasional Penerapan Model Pembelajaran Inovatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial Di Sekolah di Jakarta, Sabtu (17/5). Diana sempat menanyakan makna 'barrel' ke para peserta workshop namun ternyata banyak yang tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, menurut Diana, perubahan paradigma tersebut meminta para guru untuk memperkaya diri terlebih dahulu sehingga anak didik memperoleh wawasan yang kaya pula.

"Bagaimana kita mengharapkan anak didik kita utuh kalau kita sendiri tidak utuh dan tidak belar untuk utuh? Ini bisa dapat dicapai bukan dengan pembelajaran monodisiplin, multi maupun inter, tapi transdisiplin," ujar Diana. Selain itu, pada faktanya kebutuhan murid belum dijadikan sentral oleh para guru supaya potensi murid dapat digali secara optimal. "Kita ini adalah pelayan anak. tapi sampai sekarang ini, kita banyakan menuntun anak atau malah menuntut," tandas Diana.

Proses pembelajaran harus dikembangkan menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan, atau yang biasa disebut PAKEM. Secara aktif, guru harus belajar memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang menantang atau mempertanyakan siswa. Secara kreatif, guru harus mampu mengembangkan kegiatan yang beragam dengan alat bantu yang sederhana.

"Tantangan biasanya adalah alat bantu yang mahallah atau apa, tapi sebenarnya guru bisa mulai dengan sederhana, memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita untuk menantang murid kreatif. Murid yang kreatif itu yang bisa merancang membuat sesuatu, menulis dan mengarang," tukas Diana.

Sedangkan untuk membuat sesuatu yang menyenangkan, guru harus belajar untuk tidak membuat anak takut ketika salah atau tidak menganggapnya remeh. Caranya yang sederhana, menurut Diana, melalui raut muka yang tidak segera berubah ketika anak salah menjawab sehingga anak tersebut tidak takut lagi mengeluarkan pendapatnya dalam kesempatan lain.

LIN

Pendidikan Kesetaraan Ajarkan Kecakapan Hidup

Selasa, 8 Juli 2008 | 21:40 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan kesetaraan untuk peserta yang terdaftar di institusi penyelenggara pendidikan ini diharapkan bukan sekedar mengejar ijazah. Dalam program pendidikan kesetaraan, pembelajaran kecakapan hidup dan kepribadian profesional justru perlu ditekankan untuk menyiapkan lulusannya siap memasuki dunia kerja.

”Pembelajaran di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti pondok pesantren, pusat kegiatan belajar masyarakat, atau sanggar kegiatan belajar dilakukan berdasarkan acuan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi peserta untuk bisa siap bekerja dan berwirausaha. Bahan ajar yang diberikan ke peserta juga sesuai dengan kondisi kehidupan sehingga mereka memiliki kecakapan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan,” kata Ella Yilaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Depdiknas di Jakarta, Selasa (8/7).

Menurut Ella, pendidikan kesetaraan Paket A atau setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA ini merupakan bagian dari pendidikan nonformal yang memberikan fleksibilitas kepada peserta untuk menjalani pendidikan sesuai minat dan kondisinya. Pendidikan kesetaraan sebenarnya bisa menjadi pilihan alternatif bagi individu dalam menjalani proses belajar sepanjang hayat.

Dalam kaitannya dengan program pemerintah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun untuk anak usia sekolah, pendidikan kesetaraan mampu berkontribusi sebanyak 4,6 persen pada angka partisipasi kasar (APK) SMP secara nasional.

Karena itu, pemerintah sendiri sudah mulai mensinergikan pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di luar sekolah, termasuk pendidikan kesetaraan, untuk meluaskan akses wajib belajar sembilan tahun bagi warga yang memiliki kendala ekonomi, sosial, budaya, dan geografis untuk bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah.

Buhai Simanjuntak, Ketua Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengatakan pembelajaran di lembaga pendidikan kesetaraan ini perlu ditingkatkan tanpa membuatnya menjadi kaku seperti di sekolah formal. ”Pendidikan kecakapan hidup memang perlu ditekankan. Sebab, yang ikut pendidikan kesetaraan ini kan masih banyak dari keluarga tidak mampu atau bekerja. Mereka ini butuh pendidikan yang bisa meningkatkan taraf hidup dan pekerjaan mereka,” kata Buhai.

ELN

Tentang Pendidikan yang Memprihatinkan

enin, 20 Oktober 2008 | 02:42 WIB

SLAMET EFFENDY YUSUF

Tampaknya kegelisahan penyelenggaraan pendidikan nasional mendorong Prof Dr Soedijarto MA, seorang pakar ilmu pendidikan yang puluhan tahun teguh dan istiqomah concern pada bidang pendidikan, untuk terus berpikir mencari apa yang salah dengan sistem pendidikan nasional kita sekaligus berupaya mencari format yang paling ideal.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dan makalah disajikan dalam berbagai seminar mengenai kondisi pendidikan nasional. Buku dibuka dengan keprihatinan penulisnya betapa bangsa ini sangat jauh tertinggal dari bangsa lain. Dalam kondisi bangsa yang sering dilanda konflik, yang secara ekonomi jauh dari maju dan secara ilmu pengetahuan sangat bergantung pada dunia luar, sulit bagi Indonesia diperhitungkan dalam percaturan internasional. Bagi Prof Soedijarto, ketertinggalan ini sangat erat kaitannya dengan kepedulian pada bidang pendidikan. Terpuruknya kondisi negara-bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi pendidikan nasional.

Semua negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, disusul Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, dan China, merupakan negara-negara yang memulai pembangunan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Amerika Serikat sejak Thomas Jefferson, Jerman sejak Otto von Bismarck, Britania Raya sejak King Arthur, Jepang sejak zaman Meiji. Negara maju adalah negara yang peduli pada pendidikan. Lebih lanjut ia berpendapat, belum cerdasnya kehidupan bangsa, belum majunya kebudayaan nasional, dan belum sejahteranya kehidupan rakyat, akarnya adalah masih rendahnya kualitas manusia.

Membaca uraian dan analisis Prof Soedijarto sungguh menyenangkan. Permasalahan pendidikan bangsa dipaparkan secara gamblang dengan bahasa yang mudah dipahami. Beragam topik yang dikupas dalam buku ini mencerminkan luasnya pengetahuan penulis. Kedalaman pembahasan tentu hanya dapat dicapai oleh seorang pengamat, pemerhati, pencinta, sekaligus pelaku pendidikan seperti dia. Penulis menelusup masuk ke hal-hal yang sifatnya sangat praktis, seperti karut-marutnya metode pembelajaran, salah kaprah pemaknaan ujian nasional sebagai mekanisme evaluasi pendidikan nasional; bahkan memasuki wilayah yang politis seperti memaparkan benang merah antara kegagalan sistem pendidikan nasional dan minimnya alokasi anggaran pendidikan.

Buku ini dibagi dalam lima bagian yang tematis. Pada bagian pertama, banyak diuraikan pokok-pokok pikirannya mengenai landasan dan visi pendidikan nasional. Landasan dan visi pendidikan nasional jelas tertulis dalam UUD 1945, yaitu Pancasila sebagai filsafat dasar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dan arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluaran pendidikan yang diharapkan adalah lahirnya manusia-manusia Indonesia yang berkarakter, yaitu yang cerdas, religius, patriotik, humanis, dan memiliki rasa keadilan sosial yang tinggi.

Selanjutnya arahan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menohok pada pendidikan sebagai gerakan transformasi budaya Indonesia dari tradisional dan feodalistik menjadi budaya modern, rasional, demokratis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan.

Sayang alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, output dari sistem pendidikan yang dirancang dan diselenggarakan negara ini justru menimbulkan masalah dalam masyarakat. Beberapa kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat seperti tindakan korupsi justru sering melibatkan orang-orang cerdas di negeri ini. Ini artinya pendidikan nasional sangat jauh dari landasan serta arahan yang diinginkan.

Bagian kedua dari buku ini banyak membahas mengenai kurikulum, sistem evaluasi, tenaga pendidik, dan metode pengajaran yang ideal dan sesuai dengan landasan serta arahan pendidikan nasional. Secara umum, kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara dalam menghasilkan output yang dapat mendukung lahirnya negara-bangsa yang kuat adalah mutu pendidikan yang tercermin pada proses transformasi ilmu di dalamnya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mencakup dimensi nalar/akal, nilai, dan sikap.

Di Indonesia, yang menjadi perhatian penuh pemerintah adalah dimensi nalar/akal yang belum tentu berdampak pada pengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, serta kematangan moral dan karakter. Akibatnya yang terjadi adalah pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, tetapi sedikit sekali memberikan tempat pada nilai-nilai humanistik dan hati nurani.

Transformasi ilmu

Kelebihan buku ini terletak pada kemampuan memotret pentingnya ketiga dimensi tersebut dalam proses transformasi ilmu. Dalam Planning Instruction for Adult Learner, Patricia Canton menuliskan bahwa pendidikan yang ideal, yang berbasis pada perspektif orang dewasa, merupakan proses pendidikan yang berbasis tiga hal, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycomotor domain.

Indonesia selama ini belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap manusia modern, melainkan hanya diposisikan sebagai tempat mendengar, mencatat, dan menghafal. Pendidikan yang seperti ini dinilai tidak mampu membantu peserta didik mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri. Seharusnya proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dan berkesempatan berinteraksi secara aktif sehingga dapat menemukan dirinya.

Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang memadai, materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan akan mencapai tujuan pendidikan nasional. Biasanya tingkah laku peserta didik akan dipengaruhi oleh materi yang akan diujikan. Jika yang diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihapal, mereka hanya akan belajar materi yang akan diujikan. Akibatnya, mereka akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar mengapresiasikan bakat, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

Bagian ketiga adalah tulisan- tulisan beliau mengenai peranan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dalam pembangunan bangsa. Bab ini menggambarkan tinjauan historis kemunculan institusi pendidikan universitas di berbagai negara yang selanjutnya berperan penting dalam proses pembangunan. Peran ini belum tampak pada universitas di Indonesia, terutama dalam pemecahan masalah-masalah nasional maupun internasional. Dalam buku ini disebutkan, penyebab utama ketidakmampuan universitas sebagai problem solving lagi-lagi terkait dengan metode pembelajaran.

Bagian keempat berisikan kumpulan artikel beliau mengenai pendidikan demokrasi yang dikaitkan dengan peran keluarga dan materi pendidikan. Pada bagian ini, penulis memaparkan secara apik bagaimana peranan pendidikan dalam sebuah keluarga dalam membangun negara bangsa yang demokratis.

Bagian kelima berisi tulisan- tulisan yang mengulas keterkaitan dukungan dana dan terselenggaranya sistem pendidikan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Berkaca dari negara-negara di dunia, semua negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Alokasi anggaran pendidikan Belanda adalah 7 persen dari PDB atau sekitar 37 persen dari APBN, India 5,1 persen dari PDB, Malaysia 5,2 persen dari PDB, Brunei 4,4 persen dari PDB, Vietnam 2,8 persen dari PDB, Jepang 7 persen dari PDB, dan Thailand 5 persen dari PDB. Indonesia merupakan yang terendah, hanya 1,4 persen dari PDB. Sebenarnya ketentuan tentang pembiayaan pendidikan ini telah tertulis dalam Undang-Undang Dasar. Namun, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya, menyatukan visi para founding father dengan tindakan nyata.

Ketika salah satu ”tuntutan” buku ini agar ketentuan konstitusi mengenai anggaran pendidikan dipenuhi telah disanggupi oleh pemerintah, akan segera tampak bahwa perjalanan pendidikan ke depan akan ditentukan oleh konsistensi atas landasan dan arah pendidikan yang benar sebagaimana inti buku ini.

Dalam kerangka itu, buku ini menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan.

Slamet Effendy Yusuf Ketua Kaukus Anggota DPR untuk Anggaran Pendidikan Minimal 20 Persen









SLAMET EFFENDY YUSUF

UN Dimajukan, Guru Resah

Kamis, 16 Oktober 2008 | 19:06 WIB



JAKARTA, KAMIS - Para guru resah dengan kabar yang beredar bahwa seiring dengan Pemilihan Umum April 2009, penyelenggaraan ujian akan dimajukan ke bulan Februari. Jika jadwal dimajukan, guru khawatir waktu persiapan menjadi terlalu singkat.

Guru Bahasa Indonesia di SMKN 42 Jakarta Barat, Supriyono mengatakan, Kamis (16/10), berita soal jadwal ujian tersebut masih simpang siur di lapangan. Sebagian guru ada yang mendengar isu bahwa UN dilaksanakan sekitar bulan Januari atau Februari guna mengantisipasi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009.

Menurut Supriyono, Ujian Nasional membutuhkan persiapan intensif. Pada semester ganjil bulan Juli hingga Desember para guru biasanya membahas materi sesuai dengan kurikulum dengan sedikit persiapan ujian. Persiapan ujian secara lebih intensif melalui pendalaman materi dan simulasi ujian biasanya dimulai pada semester dua yakni Januari.

Kalau ujian dimajukan, persiapan menjadi tidak maksimal. Beban anak juga menjadi berat, apalagi mereka harus mempelajari materi sejak kelas satu, ujarnya. Dia sendiri berpendapat, penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu tidak akan terlalu mengganggu UN.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Bhakti Nusantara, Jakarta Timur, Yanti Sriyulianti, juga mendengar isu bahwa UN dipercepat menjadi Februari. Untuk ujian persiapan bisa enam hingga delapan bulan. "Kalau UN sebagai alat evaluasi kompetensi itu dimajukan jadwalnya, anak bisa kehilangan kesempatan melengkapi ketuntasan kompetensinya," ujarnya.



Indira Permanasari S

UN Tetap Dilaksanakan April 2009

Kamis, 16 Oktober 2008 | 14:49 WIB



JAKARTA, KAMIS - Pelaksanaan ujian nasional atau UN siswa SMP dan SMA/SMK tahun ajaran 2008/2009 dilaksanakan usai pemilihan umum. Karena itu, jadwal UN tidak jauh berbeda dari pelaksanaan tahun lalu yakni pada April 2009.



"Tidak benar kalau UN dimajukan sekitar Februari. Guru dan siswa tidak usah resah karena UN dilaksanakan dengan memperhitungkan semua materi harus sudah selesai," kata Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi.



Menurut Djemari, pelaksanaan UN diputuskan pada bulan April. Hanya tanggal pasti saja yang belum dipastikan.


Adapun standar nilai UN juga masih akan dibicarakan usai evaluasi pelaksanaan UN 2008. "Kemungkinan tetap seperti tahun lalu. Yang mungkin bisa berubah ada permintaan supaya satu hari hanya satu mata pelajaran saja," kata Djemari.

Prosedur UASBN Masih Berubah-ubah

Senin, 12 Mei 2008 | 18:34 WIB



SEMARANG, SENIN- Beberapa Sekolah Dasar di Kota Semarang masih mempertanyakan beberapa prosedur Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) yang akan dilaksanakan mulai Selasa (13/5) besok. Prosedur seperti penetapan nomor urut ujian dan cara pengisian nomor urut masih berubah-ubah.

Menurut Kepala SD Negeri Taman Pekunden, Kota Semarang, Jawa Tengah, Budi Rekiyowati, banyak perubahan yang hingga saat ini belum ditetapkan. Misalnya saja penetapan nomor urut siswa yang terus berubah. "Hari ini kami sudah mengubah nomor beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pusat," kata Budi, Senin (12/5).

Ia mengatakan, perubahan nomor urut UASBN membuat guru harus berulang kali mengganti dan mengoreksi nomor. Guru harus mengganti nomor yang sudah siap di tempel di meja masing-masing anak dengan nomor baru yang ditetapkan pusat, menuruti informasi dari Dinas Pendidikan Kota Semarang.

"Selain itu, pengisian nama dan alamat siswa kelas VI SDN Taman Pekunden di tingkat Dinas Pendidikan Cabang Kecamatan Semarang Tengah masih acak, sehingga para guru harus beberapa kali membenahi data di sana," kata Budi. Pengecekan daftar identitas siswa berulang kali ini menyebabkan lambatnya informasi yang akan dimasukkan di data Dinas Pendidikan Kota Semarang.

Menganggapi beberapa perubahan yang justru terjadi mendekati UASBN ini, Budi mengatakan, pelaksanaan UASBN yang baru pertama kali dilakukan ini belum benar-benar matang di lapangan. "Namun apa pun perubahan itu, sekolah siap melaksanakan," kata Budi.

Menurut Yohanes Subekti, guru kelas VI SD Badan Pendidikan Kristen Nasional (Bapkrin) Kota Semarang, tidak adanya kisi-kisi soal UASBN menyulitkan guru dalam mengajar. "Tidak ada batasan yang jelas. Berbeda dengan SMA, sebelum UN mereka mendapat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang berguna sebagai prediksi soal UN," kata Subekti.

Batasan ini sangat dibutuhkan, karena materi mata pelajaran yang harus dikuasai anak kelas VI SD sangat luas, mencakup materi dari kelas I hingga kelas VI. Karena itu, kata Subekti, setiap kal i mengajar guru harus mengulang materi-materi dasar yang belum dikuasai atau dilupakan murid.

a08

Pengawasan UASBN Lebih Longgar

Tak Ada Tim Pemantau Maupun Polisi
Selasa, 13 Mei 2008 | 18:41 WIB

SURABAYA, KOMPAS - Sebanyak 41.809 pelajar sekolah dasar dan sederajat mengikuti ujian akhir sekolah berstandar nasional mulai Selasa (13/5). Pemantauan dan pengawasan UASBN yang pertama ini tak seketat ujian nasional.

Longgarnya pemantauan dan pengawasan itu antara lain terlihat dari tidak ada penyilangan guru pengawas antarsekolah. "Setiap sekolah diawasi oleh guru masing-masing," kata Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Surabaya Sigit Priyo Sembodo, Senin (12/5).

Dalam ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) juga tak diwajibkan adanya tim pemantau maupun polisi yang berjaga. Namun, di Kota Surabaya, terdapat 31 guru SMP yang bertugas sebagai petugas pemantau dan evaluasi.

Mereka bertugas di 31 sekolah yang menjadi ketua subrayon, dari 882 SD/MI penyelenggara UASBN. Adapun sekolah lain hanya akan dipantau pengawas TK/SD. Selain itu, soal juga hanya terdiri dari satu set.

Sigit mengatakan, longgarnya pemantauan dan pengawasan itu karena nilai hasil UASBN tidak menjadi penentu kelulusan. "Nilai UASBN hanya merupakan salah satu parameter kelulusan," kata Sigit.

Sistem pengisian lembar jawab komputer juga dibuat lebih sederhana daripada ujian nasional (UN). Para peserta cukup menyilang jawaban dan tak perlu mengarsir jawaban. Hal itu untuk mengurangi kemungkinan para peserta UASBN yang rata-rata berusia 11 tahun itu membuat kesalahan.

Setelah terisi, lembar jawaban komputer (LJK) selanjutnya dipindai di dinas pendidikan kabupaten/kota, kemudian dibawa ke Dinas P dan K Jatim untuk dicocokkan dengan kunci jawaban.

Standar kelulusan

Sigit mengatakan, sekolah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kriteria kelulusan. Kriteria kelulusan itu dapat dibuat setelah proses penilaian UASBN selesai. Pasalnya, penentuan kriteria kelulusan dilakukan dengan melihat nilai terendah, tertinggi, dan rata-rata UASBN sekolah sehingga sesuai dengan kemampuan murid di masing-masing sekolah.

Setiap sekolah kemudian wajib menyerahkan kriteria kelulusan itu kepada dinas pendidikan. Dari penentuan kriteria kelulusan itu, selanjutnya akan terpetakan mutu sekolah.

Sigit mengatakan, kriteria ideal kelulusan naik atau turun 0,5 poin dari nilai rata-rata. "Semakin rendah standar kelulusannya, semakin jelek mutu sekolah," kata Sigit.

Hasil mata ujian UASBN, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA, nantinya akan masuk dalam surat keterangan hasil (SKH) UASBN yang nantinya akan menjadi syarat masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. (A10)


UASBN Syarat Kelulusan Siswa SD

Rabu, 14 Mei 2008 | 13:21 WIB

JAKARTA, RABU - Menteri Pendidikan Nasional mengatakan hasil ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN sebagai syarat kelulusan siswa dari SD/MI. Karena itu, UASBN penting untuk disiapkan dengan baik supaya siswa dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.

"Kalau tidak lulus UASBN, siswa nggak lulus dari SD. Bagaimana bisa melanjutkan ke SMP. Karena itu siswa harus berusaha sebaik-baiknya agar luluas UASBN," kata Bambang usai acara pelantikan pejabat Depdiknas dan sejumlah rektor perguruan tinggi negeri di Jakarta, Rabu (14/5).

Adapun untuk siswa SMA dan SMP yang tidak lulus ujian nasional (UN), Mendiknas menegaskan tidak ada UN ulangan. Tetapi siswa tetap punya peluang untuk lulus tahun ini juga dengan ikut UN Kesetaraan Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA).

"Untuk lulusan SMA yang tidak bisa melanjut ke pendidikan tinggi, pemerintah mengembangkan pendidikan kecakapan hidup untuk melatih berbagai keterampilan yang bisa mmebuat mereka mandiri," kata Bambang. (ELN)

Ester Lince Napitupulu

Tidak Lulus UASBN, 12 Siswa Ikuti UNPK

elasa, 1 Juli 2008 | 21:16 WIB



BANDUNG, SELASA - Sebanyak 12 siswa sekolah dasar formal yang tidak lulus ujian akhir sekolah berstandar nasional atau UASBN di Provinsi Jawa Barat terpaksa pindah jalur. Mereka mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK Paket A sejak Selasa (1/7) untuk mengejar ijazah kelulusan.

Berdasarkan data dari Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Disdik Provinsi Jabar, peserta pindah jalur (tidak lulus UASBN) UNPK periode I-2008 ini berasal dari enam daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Sumedang, dan Kota Bandung. Terbanyak dari Bogor, yaitu 12 orang.

Menurut Asep Suhanggan dari Subdin PLS Disdik Jabar, kemarin, peserta pindah jalur yang ikut UNPK Paket A ini belumlah tentu mencerminkan seluruh ketidaklulusan UASBN di Jabar. Bisa saja karena persoalan sosialisasi. Semuanya (tidak lulus) belum ikut, ucapnya. Total siswa SD yang ikut UASBN lalu di Jabar sebanyak 815.415 orang. Jadi, yang pindah jalur ini terbilang sedikit.

Adapun peserta UNPK Paket A dari reguler (non formal) sebanyak 12.355. Jauh lebih banyak dari peserta pindah jalur. Sementara, pe serta UNPK Paket B (setara SMP) sebanyak 49.757. Sebanyak 5.980 diantaranya peserta pindah jalur. Asep meyakini, ujian kesetaraan ini diikuti lebih dari 90 persen siswa yang tidak lulus ujian nasional di sekolah formal. Ujian Paket A dan B ini dilakukan bersamaan hingga tiga hari ke depan.

Demi pelayanan maksimal kepada peserta didik, hingga beberapa jam menjelang pelaksanaan ujian kemarin, panitia masih menerima pendaftaran peserta. Kemarin pagi, tercatat empat peserta baru terdaftar se-Jabar. Mereka berasal dari Kabupaten Bogor dan Cianjur. Karena mereka gagal UN , kami terima. Untuk mereka ini dimaklumi. Apalagi, bisa saja karena persoalan jarak atau informasi, mereka terlambat mendaftar, ujarnya. Di ketentuan, padahal, pendaftaran hanya hingga 28 Juni lalu.



Yulvianus Harjono

Murid SMP Terbuka Terkendala Lanjutkan Sekolah

Senin, 4 Agustus 2008 | 21:16 WIB

JAKARTA, SENIN -Para murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka terkendala melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, sebagian besar dari mereka yakni 93,8 persen tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

"Mereka terganjal kondisi sosial dan ekonomi yang kurang menguntungkan itu," ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo ketika membuka Kegiatan Lomba Motivasi Belajar Mandiri Siswa SMP Terbuka Tingkat Nasional 2008, Senin (4/8). Lantaran banyaknya murid SMP Terbuka yang tidak melanjutkan sekolah, Bambang Sudibyo menegaskan, agar murid diberikan ketrampilan dan kecakapan hidup, selain materi akademis. Dengan bekal ketrampilan tersebut, mereka dapat bekerja atau bahkan membuka usaha sendiri kelak.

SMP Terbuka merupakan upaya memberikan kesempatan belajar kepada anak usia SMP yang belum terlayani SMP Reguler. SMP Terbuka termasuk jalur pendidikan formal. Peserta didik di SMP Terbuka mempunyai kondisi khusus, seperti terpencil secara geografis, tidak mampu secara ekonomi, dan membantu orangtua bekerja. Murid SMP Terbuka belajar menggunakan modul dan media belajar lainnya di tempat kegiatan belajar seperti di tempat ibadah, rumah penduduk atau balai desa, atau SMP Induknya. Waktu belajar mereka fleksibel dan tidak ada iuran sekolah.

Saat ini, terdapat 2.576 SMP Terbuka dengan Tempat Kegiatan Belajar sebanyak 10.365 lokasi. Jumlah siswa sebanyak 306.749 orang. Mereka dilayani 30.763 guru bina di sekolah induk dan 16.671 guru pamong yang mendampingi pembelajaran siswa sehari-hari di tempat kegiatan belajar. (INE)

Lamongan Targetkan 95 Persen Peserta UN Lulus

Selasa, 19 Februari 2008 | 16:39 WIB

LAMONGAN, SELASA - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan menargetkan tingkat kelulusan siswa setingkat SMP dan SMA yang mengikuti ujian nasional tahun ini mencapai 95 persen. Target kelulusan ini lebih rendah dibanding tahun lalu karena ada keputusan Departemen Pendidikan Nasional yang menambahkan mata ujian tahun ini.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lamongan, Musthafa Nur, Selasa (19/2) mengatakan kepastian bertambahnya mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional (UN) 2008 baru masuk pada pertengahan tahun pelajaran. "Meski kepastian penambahan mata pelajaran yang diujikan dalam UN 2008 ini baru turun pada pertengahan tahun pelajaran, namun kami tetap optimis dengan menetapkan target kelulusan sebesar 95 persen," kata Musthafa.

Dia menyatakan target tersebut memang turun dibandingkan target kelulusan tahun lalu. Namun lewat berbagai upaya yang dilakukan bersama pihak sekolah diharapkan tingkat kelulusannya melampaui target yang ditetapkan. "Tahun lalu, prosentase kelulusan siswa tingkat menengah atas mencapai 99,79 persen atau hanya 27 siswa (0, 21 persen) yang tidak lulus," jelasnya.

Dia memaparkan Departemen Pendidikan Nasional pada UN tahun ini menambah mata pelajaran yang diujikan dari tiga yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk sekolah menengah atas menjadi enam, sedang untuk tingkat menengah pertama ditambah menjadi empat. Penambahan untuk tingkat menengah atas disesuaikan dengan penjurusannya. Jurusan IPA ditambah Biologi, Fisika dan Kimia, jurusan IPAS (Ekonomi, Geografi dan Sosiologi) dan Bahasa (Sastra Indonesia, Sejarah Budaya/Anthropologi dan bahasa asing yang diajarkan di sekolah).

Ujian Nasional untuk menengah atas diselenggarakan pada April sedang untuk menengah pertama satu bulan kemudian, pada bulan Mei. Menurut Musthafa diantara persiapan yang dilakukan dalam menyongsong UN kali ini dengan mengadakan bimbingan belajar dan try out di masing-masing sekolah. Pada 10-12 Maret akan diadakan try out bersama tingkat menengah atas yang soalnya dikoordinir Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lamongan, sedangkan untuk tingkat menengah pertama try out diadakan pada 2-5 April nanti.

Target riil kelulusan UN 2008 juga akan ditentukan lewat try out bersama. Melalui hasil try out bersama akan diperoleh data sebenarnya kemampuan siswa yang dapat digunakan sebagai input untuk memperbaiki kelemahan yang terjadi pada mata pelajaran tertentu yang nilainya rendah. "Sampai saat ini, sudah 247 guru dikirim untuk mengikuti work shop yang diadakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur terkait penambahan mata pelajaran dalam UN 2008," tambahnya.

ACI

Jalur Mandiri Supaya Dihapus

Selasa, 13 Mei 2008 | 20:22 WIB



SEMARANG, SELASA - Sejumlah kalangan meminta pemerintah kota Semarang menghapus jalur mandiri dalam mekanisme penerimaan peserta didik atau PPD tahun ajaran 2008-2009. Penerapan jalur mandiri dianggap semakin mengurangi peluang masyarakat umum mendapatkan pendidikan layak.

Jalur mandiri hanya mengurangi kesempatan calon murid yang berasal dari masyarakat dengan kemampuan terbatas mendapat pendidikan. Lebih bijak apabila jalur mandiri dilebur dengan jalur reguler menjadi jalur umum, tegas Direktur Kajian Strategis Demokrasi dan Sosial (Krisis), Suwignyo Rahman di Kota Semarang, Selasa (13/5).

Selasa kemarin, gabungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Krisis, Publik Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, menyerahkan rancangan dampingan petunjuk pelaksanaan yang mengatur PPD ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang. Menurut Suwignyo, persoalan mekanisme PPD mengemuka sebagai akibat dari penundaan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kota Semarang, terutama pasal 13 yang mengatur kuota, sistem seleksi, dan daya tampung.

Menurut dia, untuk penerimaan peserta didik tahun ajaran 2008-2009, Dinas Pendidikan Kota Semarang berencana menyelenggarakan tiga jalur guna menjaring calon peserta didik. Ketiga jalur tersebut yakni jalur reguler, jalur mandiri dan jalur Satuan pendidikan Bertaraf Internasional (SBI).

Jalur mandiri antara lain ditujukan untuk mengakomodasi anak-anak guru,orang-orang yang berjasa dalam pendidikan, serta warga di lingkungan sekolah. Kalau untuk anak guru, kuotanya bisa dimasukkan ke jalur umum. "Dapat diberikan kemudahan dengan memberikan deposit nilai 20-30 persen yang akan mengangkat nilai calon murid tersebut," kata dia.

Ketua Divisi Anggaran dan Kebijakan Publik Pattiro Semarang, Dini Inayati menambahkan, klasifikasi orang-orang yang berjasa dalam pendidikan juga tidak jelas. Untuk warga di lingkungan sekolah, sudah diadopsi dengan metode rayonisasi.

Ketua Komisi D dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmadi mengatakan, rancangan dampingan yang diajukan oleh gabungan LSM akan menjadi bahan pertimbangan yang sangat membantu pembahasan komisi D selanjutnya. "Kami akan menggunakan rancangan dampingan ini untuk membahas draft usulan dari Dinas Pendidikan tentang PPD tahun ajaran baru ini, " kata dia.

Menurut Ahmadi, penyelenggaraan jalur mandiri dalam PPD diperkirakan untuk menjaring pemasuka n dana dari orang tua calon peserta didik. Untuk itu, komisi D akan mempelajari secara serius rancangan usulan Dinas Pendidikan yang rencananya selesai dalam minggu ini.

Dalam kesempatan sama, Ahmadi juga mengingatkan Dinas Pendidikan Kota Semarang untuk memisahkan peraturan mengenai sumbangan pengembangan institusi (SPI) dari peraturan mengenai PPD. Tercantumnya peraturan mengenai SPI dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat.

Jika dikatakan bahwa SPI akan dibicarakan dengan orang tua murid setelah peserta didik diterima, maka tidak ada alasan untuk mempertahankan klausul tentang SPI dalam satu peraturan. "Kalau perlu, harus dibuat dua peraturan Wali Kota yang mengatur PPD dan SPI," jelas Ahmadi.



A05

Ujian Nasional Hasilkan Peserta Didik Bermutu

Senin, 4 Februari 2008 | 19:23 WIB

DEPOK, SENIN - Ujian Nasional (UN) diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional bukan tidak ada gunanya. Salah besar jika ada anggapan UN hanya menguntungkan peserta didik di sekolah-sekolah perkotaan dan merugikan peserta didik sekolah pedesaan. UN diadakan untuk menghasilkan peserta didik yang bermutu. Sumberdaya manusia bermutu hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan yang bermutu pula.

Hal itu ditegaskan Anggota Komisi X DPR RI Hj Aan Rohanah, pada seminar Ujian Akhir Nasional sebagai Sarana Peningkatan Mutu Pendidikan Indonesia dalam Era Globalisasi, di hadapan para guru dan siswa peserta Olimpiade Ilmu Sosial di Kampus FISIP Universitas Indonesia, Senin (4/2) di Depok.

"Mutu sumberdaya manusia faktor yang sangat menentukan bagi kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Karena itu Pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk peningkatan mutu, serta pemantauan dan pengendalian mutu pendidikan," ujarnya.

UN tidak untuk semua mata pelajaran, tetapi hanya pada mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuannya menilai pencapaian kompetisi lulusan secara nasional pada mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam. Juga untuk pemetaan mutu pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sampai tingkat nasional. Kemudian, mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.

Menurut Hj Aan Rohanah, UN dapat memacu sekolah untuk bekerja lebih baik dan menghasilkan lulusan yang bermutu, menumbuhkan daya kompetitif sekolah untuk mencapai standar nasional dan internasional. UN dapat menjadi perekat antardaerah di era otonomi saat ini dalam kerangka suatu sistem pendidikan nasional.

"Dalam pelaksanaannya perlu dikembangkan sistem yang efisien, efektif, dan akuntabel serta dapat mendukung upaya peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.Kemudian didukung oleh regulasi, tenaga profesional, bahan ujian, serta teknologi penilaian yang tepat," tandas anggota DPR RI dari Fraksi PKS itu.

UN perlu dilanjutkan dengan penyempurnaan, di mana biaya ujian tetap ditanggung pemerintah, peningkatan mutu soal, obyektivitas penskoran, keamanan soal, kredibilitas pengawasan. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan ujian ujian yang jujur.

Aan Rohanah berpendapat, karena terdapat sejumlah sekolah memiliki indikasi terjadi kecenderungan atau bertindak tidak obyektif dalam pelaksanaan UN, maka sebaiknya ada lembaga independen, dengan perangkat yang mencukupi, memiliki kewenangan dan otiritas penuh dalam melaksanakan UN.

Tentang dampak positif UN, Aan Rohanah mengutip hasil studi/kajian yang dilakukan Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005), di mana UN membuat siswa termotivasi lebih rajin belajar, guru termotivasi lebih giat mengajar. Orangtua lebih memperhatikan proses pembelajaran anak. Dan kepala sekolah termotivasi untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah.

Sedangkan hasil UN dimanfaatkan untuk pemetaan mutu lulusan satuan pendidikan tingkat kabupaten/kota.Pertimbangan pencapaian kompetensi untuk perbaikan perncapaian kompetensi. Pemberian bantuan edukasi dan finansial bagi sekolah yang masih rendah capaian kompetensinya.Salah satu pertimbangan kelulusan dari satuan pendidikan.Diharapkan dapat memotivasi peserta didik dan pendidik untuk bekerja lebih baik. Juga dimanfaatkan untuk memperbaiki proses pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan.

NAL

Nasib Calon Guru Terkatung-katung

Senin, 9 Maret 2009 | 18:17 WIB

JAKARTA, SENIN - Masyarakat yang berminat untuk menjadi guru kebingungan karena belum tersosialisasinya ketentuan untuk menjadi guru secara baik. Mereka masih memilih ikut program Akta IV yang masih ditawarkan lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan, padahal syarat untuk menjadi guru nantinya harus memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh dari pendidikan profesi guru selama enam bulan atau satu tahun.



"Untuk bisa jadi guru kan harus ikut Program Akta IV. Dan saya lihat di FKIP, masih membuka pendaftaran. Saya ikut sejak Januari kemarin," kata Ati (31), peserta Program Akta IV di Universitas Kristen Indonesia di Jakarta, Senin (9/3).



Untuk mengikuti Program Akta IV, kata Ati, dia dikenai biaya Rp 7 juta. Dari informasi yang disampaikan, sebenarnya Program Akta IV ini di kampus ini hendak ditutup tahun lalu. Namun, sampais aat ini belum ada kepastian soal pendidikan profesi guru sebagai pengganti Program Akta IV.



Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Batanghari Jambi, Sainil Anwar, mengatakan Program Akta IV di kampus ini masih dibuka karena tingginya permintaan masyarakat dan pemerintah daerah. Program ini diminati oleh sarjana nonkependidikan yang berminat untuk menjadi guru karena belum jelasnya pelaksanaan profesi pendidikan guru (PPG).



"Untuk guru honorer atau guru yang belum punya Akta IV juga berminat. Jika ada pengangkatan guru PNS atau sertifikasi guru, poin sertifikat Akta IV cukup tinggi. Untuk di daerah, Program Akta IV ini masih dibutuhkan. Lagipula syarat untuk bisa melaksanakan PPG cukup berat untuk kampus di daerah yang masih terbatas dosen dan fasilitasnya," kata Sainil.



Pembantu Rektor I Universitas Terbuka Tian Belawati mengatakan Program AKTA IV di UT ditutup sejak 2007. Kampus ini hanya menyelesaikan mahasiswa yang masih tersisa paling lama tahun ini.



"Kami juga masih belum tahu sistem PPG yang hendak dijalankan pemerintah. Kami juga sedang mempelajarinya. dengan jangkauan UT dan fasilitas yang ada, terutama dalam pendidikan gurus elama ini, kami ebrharap UT bisa berkontribusi juga dalam PPG nanti," ujar Tian.



Pembantu Rektor I Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Zainal Rafli mengatakan UNJ tidak buka lagi sejak 2008. Program ini dinilai akan mubazir karena peraturan baru soal pengangkatan guru mengharuskan calon guru ikut PPG .



"Memang belum ada ketentuan resmi untuk mencabut Program Akta IV. Tetapi persyaratan untuk menjadi guru sesuai UU Guru dan Dosen kan ebrubah, harus ikut PPG. Jadi kami hentikan saja Program Akta IV. Kami lebih berkonsentrasi untuk menyiapkan pendidikan profesi guru. Apalagi ada sinyal dari pemerintah untuk menyipakan PPG Pendidikan Guru SD," jelas Zainal.



Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, menilai pemerintah lambat menyiapkan PPG. Sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai perguruan tinggi yang boleh melaksanakan PPG serta waktu pelaksanaanya. Demikian juga soal pengangkatan guru PNS dan persyaratannya.



"Jika pemerintah tidak tegas, nanti akan menimbulkan duplikasi. Masyarakat yang rugi karena mereka sudah bayar untuk ikut Program Akta IV, tetapi pemerintah minta syarat harus ikut PPG," ujar Sulistiyo yang juga Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia.





KOMPAS Ester Lince Napitupulu

Calon Guru Harus Ikuti Pendidikan Profesi

Selasa, 25 November 2008 | 15:55 WIB

JAKARTA, SELASA - Para calon guru akan menempuh cara berbeda dengan guru dalam jabatan untuk mendapatkan sertifikat sebagai pendidik. Jika guru dalam jabatan menempuh sertifikasi dengan model portofolio, calon guru yang sudah mendapatkan gelar sarjana nantinya harus melamar ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK terpilih untuk mengikuti pendidikan profesi guru.

Hal itu dikemukakan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Fasli Jalal, dalam rapat kerja dengan Panitia Adhoc III Dewan Perwakilan Daerah RI, Selasa (25/11). "Untuk guru mata pelajaran, lamanya pendidikan profesi satu tahun dan bagi guru taman kanak-kanak serta sekolah dasar selama enam bulan," ujar Fasli.

LPTK yang akan memberikan pendidikan profesi nantinya tidak sembarangan melainkan harus memenuhi persyaratan seperti pengalaman di bidang pendidikan, tenaga pengajar dan fasilitas. Menurut Fasli, sebetulnya pemerintah telah memulai pendidikan profesi tersebut pada tahun 2006 dan 2007. Namun, baru sebatas untuk guru prajabatan yang dinilai berprestasi dan melalui seleksi khusus. Kuotanya ditetapkan secara khusus oleh Menteri Pendidikan Nasional. Terdapat 790 guru yang telah terseleksi waktu itu.



Indira Permanasari S

Guru Tidak Tetap Demo Dinas Pendidikan

Senin, 10 November 2008 | 14:03 WIB

Laporan wartawan Kompas Kris R Mada

SURABAYA, SENIN - Puluhan guru tidak tetap (GTT) berunjuk rasa di Dinas Pendidikan Surabaya, Senin (10/11). Mereka menuntut segera diangkat menjadi CPNS atau calon pegawai negeri sipil.

Ketua forum komunikasi GTT Joko Surono mengatakan, aksi itu sudah dilakukan beberapa kali. Namun, sampai saat ini tidak ada kejelasan sikap dari pemerintah kota Surabaya. "Kami minta diperlakukan adil seperti GTT di kabupaten/kota lain," ujarnya.

Di Surabaya, GTT diminta mendaftar CPNS lewat jalur umum. Dengan jalur itu, mereka merasa jerih payah mengajar selama belasan tahun tidak dihargai. "Di kabupaten/kota lain, GTT masuk CPNS dengan jalur honorer sehingga pengangkatan dengan sistem kuota. Ada kepastian pengangkatan dengan sistem itu," ungkapnya.

Sayangnya, sebagian besar pejabat Dinas Pendidikan Surabaya tidak di kantor. Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Sahudi dan beberapa kepala bidang sedang dipanggil DPRD Surabaya untuk membahas anggaran pendidikan Surabaya.

Tingkatkan SDM, Guru Butuh Pendidikan Tinggi Jarak Jauh

elasa, 2 September 2008 | 20:00 WIB

JAKARTA, SELASA - Pendidikan tinggi jarak jauh dengan kualitas akademik yang baik sangat dibutuhkan untuk peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama kalangan guru. Namun, pilihan guru untuk menikmati layanan pendidikan tinggi masih terbatas akibat minimnya infrastruktur pendidikan. Padahal ada satu juta lebih guru yang harus meningkatkan kualifikasi pendidikan diploma IV atau S-1 hingga tahun 2015.



"Para guru ini kan diwajibkan untuk mencapai kualifikasi akademik D-IV/S-1, tetapi disyaratkan jangan sampai melalaikan kewajiban mengajar. Ini kan dilema buat guru. Solusinya ya harus ada pilihan pendidikan tinggi jarak jauh yang beragam dengan tetap mengutamakan kualitas akademik," kata Sulistyo, Ketua Umum Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Indonesia di Jakarta, Selasa (2/9).

Menurut Sulistyo, pemerintah harus segera mengatur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh, terutama untuk melayani guru. Jika mengandalkan Universitas Terbuka saja, kemampuannya terbatas.



Selain menyediakan infrastruktur yang mendukung pengembangan pendidikan jarak jauh, semisal teknologi informasi dan komunikasi, juga perlu disiapkan supaya layanan pendidikan ini juga menyediakan modul-modul yang bisa dipahami untuk belajar mandiri. Dengan demikian, pendidikan tinggi untuk peningkatan kualitas guru yang berdampak dalam pengajarannya di kelas bisa tercapai.



Kemantapan UT di pusat itu belum tentu cerminan di daerah lain. Untuk tutor saja, masih ada yang guru SD-SMA yang kebetulan sudah S-1. Jadi perlu diatur mana perguruan tinggi yang siap dan mampu melaksanakan pendidikan jarak jauh. Itu harus dicek betul supaya terjamin kualitasnya. "Sebab, peningkatan kualitas akademik guru itu bukan untuk mengejar ijasah, tapi untuk membentuk guru yang bermutu sehingga pendidikan kita ada perbaikan," tambah Sulistyo.

Ester Lince Napitupulu

Minim, Perpustakaan di Tingkat Pendidikan Dasar

Selasa, 13 Januari 2009 | 22:52 WIB

JAKARTA, SELASA - Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, Selasa (13/1), mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.

Menengok Sekolah Berstandar Internasional di Sragen

Rabu, 28 Mei 2008 | 12:16 WIB

Kabupaten Sragen menginjak usianya yang ke-262 tahun tepat tanggal 27 Mei 2008. Dengan usia demikian matang, kabupaten yang memosisikan diri sebagai smart regency ini rajin "menjual" potensi daerahnya. Salah satunya adalah sekolah berstandar internasional yang dirintis sejak dua tahun lalu, yakni di Kecamatan Gemolong dan Kecamatan Karangmalang.

Hingga kini, sudah ada dua angkatan yang bersekolah di jenjang taman kanak-kanak dan sekolah dasar (SD) di dua sekolah berstandar internasional (SBI) itu. Rencananya, mulai tahun ajaran ini di kompleks SBI Gemolong akan dibuka SBI di jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang bekerja sama dengan Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association (Pasiad). Pasiad bertanggung jawab terhadap pendidikan, bimbingan, kurikulum, dan sistem manajemen sekolah.

"Kami ingin agar generasi muda Sragen mampu bersaing. Bahasa Inggris menjadi kunci pintu gerbang persaingan di era global," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen Gatot Supadi, Selasa (27/5).

SBI menekankan aspek pembelajaran melalui pengalaman dengan tujuan memberi modal kecakapan hidup (life skill) agar siswa mampu kreatif menghadapi hidupnya di masa depan. Misalnya, siswa diajak pergi melihat pembuatan tahu, menanam pohon, dan melihat pembuatan KTP di kecamatan.

SBI di Sragen memakai Kurikulum Nasional Plus X. "Maksudnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, tetapi ditambah dengan pengembangan sesuai standar internasional," ucap Koordinator TK/SD SBI Kroyo, Karangmalang, K Mudo Triasmoro bersama Kepala SBI Kroyo Marjono.

Suasana SBI Kroyo yang berstatus sekolah negeri tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri non-SBI. Hanya saja, siswa SBI boleh dibilang lebih "beruntung" karena menyediakan fasilitas lebih lengkap, antara lain ruang kelas multimedia, perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Inggris, dan ruang musik. (SRI REJEKI)

Rejeki, Sri

Satu Anak Satu Laptop


Satu Anak Satu Laptop
“Ini adalah proyek pendidikan, bukan proyek laptop.”

Misi
Hampir semua dari dua-milyar anak-anak di negara yang sedang berkembang pendidikannya adalah kurang, atau tidak menerima pendidikan sama sekali. Satu antara tiga tidak lulus kelas lima SD.

MissionKonsekwensi individu dan sosial oleh krisis global ini adalah sangat signifikan (profound). Anak-anak terikat di dalam kemiskinan dan isolasi — seperti orang tuanya — dan tidak pernah tahu pengaruh kehidupan mereka yang dapat menjadi dari "the light of learning" (sinar pendidikan). Selama ini, pemerintah-pemerintah mereka berjuang untuk berkompetisi di dunia global dan ekonomi informasi global yang cepat merubah, yang dibeban oleh "urban underclass" (masyarakat kota) yang terus meningkat dan tidak dapat mandiri, maupun berkontribusi, karena mereka tidak mempunyai alat-alat untuk melakukan itu.

Ini sudah waktu untuk memikir ulang rumusnya.
Dengan sumber-sumber yang negara perkembang dapat mengalokasikan ke pendidikan kadang-kadang ada dibawah $20/tahun/siswa-siswi, dibanding dengan kira-kira $7500/siswa-siswi/tahun di A.S. — walapun alokasi ke pendidikan tradisional dilipad dua atau empat kali, dan dibantu oleh dana dari luar dan sumber swasta, masih tidak akan berhasil mengatasi masalahnya. Apa lagi, dari pengalaman bahwa kelihatannya "incremental increase" peningkatan gradual hal-hal pendidikan yang biasa, bangun sekolah, angkat guru, beli buku dan peralatan yang memang baik, ini adalah response yang kurang terhadap masalah membawa kesempatan-kesempatan pelajaran yang luas ke anak-anak yang bermilyadan di dunia perkembang.

Kalau berdiri dan tidak maju ini adalah sama dengan mundur.
Anak-anak bangsa adalah sumber alam yang paling terhargai. Kami percaya bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus "leverage" menggunakan sumber ini oleh kemampuan untuk "tapping into" menggunakan kapasitas alami anak-anak untuk belajar, membagi, dan berkreatif secara mandiri. Jawaban kami untuk tantangan ini adalah XO laptop, komputer yang dirancang untuk “belajar belajar”.

XO mengintegrasikan "theories of constructionism" yang pertama di bangunkan oleh MIT Media Lab Professor Seymour Papert tahun 1960an, dan later dilanjutkan oleh Alan Kay, dilengkapi dengan prinsip-prinsip terinci oleh Nicholas Negroponte di bukunya, "Being Digital".

Validation"Sudah dites di lapangan secara luas dan divalidasikan di antara masyarakat-masyarakat yang termasuk yang paling miskin dan terisolasi di dunia, "constructionism" menekan bahwa yang Papert sebut “belajar belajar” adalah pengalaman pendidikan dasar. Sebuah komputer dapat enabel secara unik "belajar belajar" karena memberi kesempatan ke anak-anak untuk “berpikir mengenai pikiran”, secara yang tidak mungkin dengan cara lain. Mereka menggunakan komputer XO sebagai jendela ke dunia, sambil sebagai alat yang sangat dapat diprogram untuk membuka dunia, anak-anak di negara yang sedang berkembang akan membuka pengetahuan yang luas dan kreativitas mereka sendiri dan potensi untuk "problem-solving".

OLPC bukan, di harti, program teknologi, dan XO juga tidak sebagai produk di dalam arti produk secara konvensional. OLPC adalah organisasi "non-profit" yang menyediakan "means to an end" solusi yang dapat melihat anak-anak di daerah yang sangat terisolasi di dunia diberikan kesempatan untuk menggunakan dan meningkatkan potensi mereka sendiri, dan mengakses dunia idea-idea dari seluruh dunia, dan berkontribusi untuk membuat dunia yang lebih produktif dan sehat.

Ubuntu Untuk mereka yang mencari sesuatu yang kurang nostalgik dari Amiga OS untuk memasang di OLPC XO mereka mungkin ingin membaca "OLPC News website", yang sekarang mempunyai dua tutorial berlangkah-langkah untuk memasang Ubuntu di OLPC XO. Seperti anda barangkali terbak, dua-duanya pilihan tidak begitu mudah di instal, tetapi seharusnya cukup mudah untuk seorang yang punya sedikit pengalaman dengan Linux. Anda juga akan perlu lebih dari laptopnya dan CD Ubuntu untuk memasang Ubuntu -- yang diperlui adalah, USB drive atau SD card dengan paling sedikit 600MB memori dan komputer lain yang pakai Linux -- tetapi kami merasa keperluan ini tidak akan sebagai masalah untuk orang yang ingin memindah ke OS yang "kurang anak-friendly".

Akuntabilitas dalam Manajemen Berbasis Sekolah

Akuntabilitas dalam Manajemen Berbasis Sekolah

Judul: Akuntabilitas dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah bagian MANAJEMEN SEKOLAH / SCHOOL MANAGEMENT.
Nama & E-mail (Penulis): Fredrik Kande
Saya Mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta
Topik: Akuntabilitas dalam Manajemen Berbasisi Sekolah
Tanggal: 19 Juni 2008

AKUNTABILITAS DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( Oleh : Fredrik Kande* )

Abstrak

Penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah yang memenuhi prinsip akuntabilitas, tampaknya masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan akan manajemen pendidikan yang akutabel terus disuarakan banyak pihak, bagai tangan bertepuk sebelah, belum semua aparatus pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan kemauan, kemampuan, persepsi, dan kepercayaan. Karena itu artikel ini ditulis untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut yang hampir putus itu. Uraian disandarkan pada tiga hal utama, yakni hakekat akuntabilitas serta pelaksanaannya, faktor-faktor penghambat, dan upaya-upaya meningkatkan akuntabilitas sekolah.

Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan. Tetapi hanya dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip akuntabilitas dapat membumi di sekolah.

Kata Kunci: Akuntabilitas, Manajemen Berbasis Sekolah

A.PENDAHULUAN

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras, sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini membuktikan bahwa kecenderungan masyarakat pada masa kini berbeda dengan masa lalu. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan:

Bila di masa lalu masyarakat cenderung menerima apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak dengan mudah menerima apa yang diberikan oleh pendidikan. Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya dan anak-anaknya.

Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.

Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan:

Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan masyarakat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, dan perangkat aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yang bersangkutan.

Empat hal penting yang dikemukakan di atas membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat. Sebab tidak saja dibutuhkan kemauan tetapi juga kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang dapat berubah, jika ia memiliki kemauan sekaligus kemampuan.

Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.

Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi dari stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya penting: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan dan sanksi." Empat sumber daya ini jika dikelola secara baik akan meningkatkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas.

Akuntabilitas yang tinggi hanya dapat dicapai dengan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88):

Tiga aspek yang dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntable.

Institusi pendidikan yang akuntabel adalah institusi pendidikan yang mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga juga bergantung kepada kemampuan suatu lembaga pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yang kedua sebagai akuntabilitas keuangan.

Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan di Indonesia juga mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. Menurut Slamet (2005:6):

MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.

Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak sedikit institusi pendidikan yang tidak akuntabel.

B.Memahami Akuntabilitas dalam MBS

Menurut Rita Headintong (2000:84), Akuntabiltas bukan hal baru. Ia mengatakan:

As far back as the 1830 when public was used to establish a national education system 'some were concerned that the spending of public money should be properly supervised and controlled, and others were dissatisfied with the practical aspects such as the poor quality of the teachers' (Lawton and Gordon 1987, p.7).

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000).

Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik.

Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias "is the degree to which local governments have to explain or justify what they have done or failed to do." Lebih lanjut dikatakan bahwa "Accountability can be seen as validation of participation, in that the test of whether attempts to increase participation prove successful is the extent to which people can use participation to hold a local government responsible for its action." Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.

Jadi, kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83), "The head teacher and governing body have a legal responsibility to ensure the finances of the school are used effectively to benefit pupils' education."

Pelajar Perlu Memahami Safety Riding

Pelajar Perlu Memahami Safety Riding

Rabu, 13 Februari 2008 | 13:49 WIB

BANDUNG, RABU- Banyaknya jumlah pelajar usia remaja yang menjadi korban kecelakaan kendaraan bermotor harus disikapi bersama- sama antara lembaga pendidikan maupun masyarakat umum melalui pemahaman keselamatan berkendara di jalan atau safety riding.Sebab, 50 persen lebih dari 14.000 korban kecelakaan yang terjadi dalam satu tahun adalah remaja atau pelajar yang berusia 15-24 tahun.

Demikian disampaikan Kepala Bidang Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup dan Kesehatan Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Departemen Pendidikan Nasional Purnomo Ananto dalam Life Skills Education Program melalui safety riding bersama Castrol, Rabu (13/2). Menurutnya, pengetahuan tentang keselamatan berkendara di jalan itu sangat perlu dimasukan dalam kurikulum pendidikan kesehatan dan jasmani ataupun diberikan melalui pendidikan ekstrakurikuler.

Pentingnya pendidikan dan pengetahuan tersebut mengingat pertumbuhan penjualan sepeda motor setiap tahunnya mencapai 4,5-5 juta unit, belum termasuk kendaraan bekas. Sebagian besar dari konsumen sepeda motor yang baru itu adalah pengendara mula, yang juga didominasi oleh pelajar. Parahnya, dari 14.000 korban kecelakaan (tahun 2006) setengahnya adalah pelajar.

Program safety riding ini penting diberikan sedini mungkin agar mereka (pelajar) tidak hanya sekadar tahu, tetapi juga terampil menggunakan sepeda motor. "Sehingga angka kecelakaan di jalan raya bisa ditekan," ujar Purnomo.

Sementara itu, Direktur Pemasaran PT Castrol Indonesia Budi Janto mengakui edukasi keselamaan berkendara itu sangat dibutuhkan oleh pelajar, yang secara tidak langsung merupakan tulang punggung bangsa. Selain itu, bukti menunjukan bahwa aktifitas berkendara sepeda motor di jalan-jalan di Indonesia itu berisiko tinggi terhadap kecelakaan.

Oleh karena itu, beberapa materi dihadirkan dalam pelatihan yang melibatkan sekitar 100 pelajar sekolah menengah atas dan kejuruan di Bandung. Materi yang disampaikan selain praktik mengendara yang baik dan aman adalah informasi tentang manajemen risiko berkendara di jalan raya, perlengkapan standar yang harus digunakan, serta teknik dasar mengendarai sepeda motor.

Purnomo menambahkan, jika pendidikan tentang keselamatan berkendara di jalan itu tidak berkelanjutan disosialisasikan dampaknya akan semakin besar peluang pelajar menjadi korban kecelakaan di jalan raya. Misalnya, berdasarkan data, penyebab kecelakaan tertinggi di Bandung adalah sepeda motor. Tercatat, 1.948 kasus kecelakaan sepeda motor, dimana 575 kasus terjadi pada usia 16-25 tahun, 728 kasus pada usia produktif (26-35 tahun) dan sisanya sebanyak 513 kasus terjadi pada usia 36-45 tahun. (THT)





Timbuktu Harthana

Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Lingkungan

Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan Lingkungan

Pada tahun 1998-2000 kami melaksanakan penelitian untuk meningkatkan mutu peran teknologi dalam pelajaran bahasa di Sekolah Menengah Umum. Kami mengujungi ratusan sekolah di pulau Jawa, Bali, dan Lombok. Salah satu hal yang sangat terkait dengan pengembangan teknologi dan bahasa adalah fasilitas dan sumber bahan bahasa yang ada di perpustakaan sekolah. Apakah perpustakaan sekolah anda seperti perpustakaan di foto?

Dari penelitian kami delapan faktor muncul yang sangat mengagetkan:

1. Biasanya tidak ada siswa-siswi di dalam perpustakaan.
2. Perpustakaannya hanya buka pada jam kelas (paling tambah 15 minet).
3. Guru-guru tidak secara rutin menyuruh siswa-siswi dalam jam kelas ke perpustakaan untuk tugas, mencari informasi atau solusi sendiri.
4. Jelas, guru-guru tidak dapat minta siswa-siswi mencari informasi di perpustakaan di luar jam kelas karena perpustakaannya tidak buka.
5. Guru-guru sendiri jarang kunjungi perpustakaan, dan kurang tahu isinya.
6. Seringkali pengelola perpustakaan adalah guru yang juga jarang ada di perpustakaan.
7. Pada umum, pengelola perpustakaan kelihatannya tidak mempromosikan perpustakaannya (atau berjuang untuk meningkatkan minat baca) secara aktif dan kreatif.
8. Lingkungan sekolah (termasuk rakyat) kurang aktif membangunkan perpustakaan.
Padahal Perpustakaan Seharusnya Sebagai "Jantung Sekolah".
Banyak siswa-siswi belajar dalam keadaan sulit di rumah, karena tempatnya sempit, ada adik-adik yang suka menggangu, mereka sering harus belajar di meja makan sesuai dengan waktu tidak dipakai, mereka tidak dapat belajar bersama teman-teman sekelas, dll.

Mengapa perpustakaan sekolah tidak buka satu sampai dua jam setelah jam kelas? Misalnya tutup jam 3 atau 3.30. Dari pengalaman kami alasan-alasan yang muncul adalah banyak! Masalah yang disebut termasuk; biaya karyawan, sekuriti, kendaraan untuk siswa, dll. Tetapi tidak ada alasan sebenarnya, dan untungannya untuk siswa-siswi kalau buka adalah banyak!

Perpustakaan juga sangat cocok untuk sebagai tempat di mana siswa-siswi dapat mengakses sumber-sumber informasi di Internet di luar jam kelas karena di awasi (melindungi siswa-siswi dari situs, kekerasan, porno, dll), dan siswa-siswi dapat dibantu oleh pustakawan/wati tanpa kebutuhan staf khusus.

Sering perpustakaan diurus oleh karyawan Tata Usaha (TU). Kita hanya perlu salah satu staf TU yang masuk 2 jam lebih siang dan pulang 2 jam lebih sore, tidak kena biaya. Kalau ada staf perpustakaan yang khusus - dibuat shift saja. Seringkali masuk lebih siang dan pulang lebih sore adalah keadaan yang cocok untuk anggota staf tertentu.

Yang kami melihat, di kebanyaan sekolah staf sekuriti sudah bertugas sampai sore. Kalau tidak, sistem shift juga dapat dilakukan.

Kalau masalahnya ada kendaraan, ini dapat dinegosiasi oleh staf sekolah. Biasanya bisnis dari siswa-siswi sekolah adalah sangat penting kepada perusahaan kendaraan, supir angkot, tukang becak, atau tukang ojek, dan mereka akan fleksibel.

Kami belum membahas hal "jumlah atau jenis koleksi buku", yang biasanya sangat kurang. Tetapi selama perpustakaan sekolah hanya sebagai "gudang buka" jumlah buku dan peraturan buku (Sistem/Katalog) tidak termasuk hal-hal utama.

Kita harus berjuang untuk mengatasi isu-isu (1-8 di atas yang tidak kena biaya) dan meningkatkan minat, kesempatan, dan kebiasaan baca. Kalau belum, perpustakaannya akan gagal sebagai jantung sekolah. Kebiasaan baca adalah kunci untuk mengembangkan pengetahuan dan pendidikan kita terus selama hidup (lifelong learning).

"Perpustakaan Online" tidak sebagai pilihan yang rialistik untuk mayoritas siswa-siswi tingkat sekolah (atau masyarakat) di Indonesia karena mereka tidak punya komputer atau akses ke Internet di rumah. Waktu untuk menggunakan komputer di sekolah adalah sangat terbatas, dan untuk "print" (cetak) dokumen-dokomen atau ebook dari Internet adalah sangat mahal dibanding dengan pinjam buku dari perpustakaan "yang gratis".

Buku-buku di perpustakaan sekolah dapat dipinjam dan dibaca kapan saja, di mana saja (di becak, di tempat tidur), dan buku-buku perpustakaan sekolah dapat "diakses oleh semua siswa-siswi secara adil". Ayo, membangun perpustakaan sekolah yang lengkap dengan akses di luar jam kelas.

Perpustakaan Nasional Indonesia menyatakan bahwa perpustakaan
harus menjadi "pusat belajar mengajar".
(Community Libraries)
Perpustakaan Lingkungan

Beberapa bulan yang lalu kami membaca salah satu 'contoh aktivitas menulis' untuk ujian bahasa Inggris yang sebagai standar bahasa Inggris internasional: "Discuss the benefits and weaknesses of your local library" (Membahas keuntungan dan kekurangan perpustakaan lokal anda). Ujian ini disebut adalah 'bebas dari "bias" (pengaruh) kebudayaan'. Tetapi waktu kami mencoba bertanya beberapa orang Indonesia "Di mana perpustakaan lokal anda?" tidak ada satupun yang dapat menjawab. Perpustakaan Lokal (Lingkunan) atau "Community Libraries" kelihatannya tidak ada, atau kalau ada masyarakat secara umum tidak menggunakan perpustakaan-perpustakaan itu sampai tidak tahu di mana perpustakaannya.

Mengapa pertanyaan begini dapat muncul di ujian internasional?
Secara internasional perpustakaan lingkungan sebagai kebiasaan, termasuk di negara yang sedang berkembang. Kalau begitu, mengapa masyarakat tidak biasa menggunakan perpustakaan lingkungan di Indonesia. Mengapa perpustakaan lingkungan yang biasannya sebagai pusat untuk informasi lingkungan dan sumber pinjam buku-buku gratis tidak sebagai hal penting di Indonesia? Di mana masyarakat dapat pinjam buku-buku gratis, bagaimana mereka dapat terus meningkatkan pengetahuan dan pendidikannya?

Seperti perpustakaan sekolah, dan di luar negeri begitu, perpustakaan lokal dapat sebagai sumber akses ke Internet untuk masyarakat yang murah yang menyediakan bantuan karyawan yang sudah akli mencari informasi, di banding dengan warnet biasa di mana staf biasannya tidak berpendidikan tinggi atau memiliki keaklian mencari informasi.


(Perpustakaan Digital)
Perpustakaan Online

Seperti kami sudah menyebut di atas: 'Perpustakaan Online tidak sebagai pilihan yang rialistik untuk mayoritas siswa-siswi tingkat sekolah (atau masyarakat) di Indonesia karena mereka tidak punya komputer atau akses ke Internet di rumah. Waktu untuk menggunakan komputer di sekolah adalah sangat terbatas, dan untuk "print" (cetak) dokumen-dokomen atau ebook dari Internet adalah sangat mahal dibanding dengan pinjam buku dari perpustakaan "yang gratis". Ref: Buku Sekolah Elektronik (BSE).
Ref: "Kebijakan buku elektonik (e-book) dinilai tidak efektif" (Forum Guru FGII)

Perpustakaan Online adalah lebih cocok untuk mahasiswa-mahasiswi supaya mereka dapat mencari dan pesan buku di perpustakaan kampus mereka (yang koleksi buku besar). Perpustakaan Online juga bagus untuk mahasiswa-mahasiswi yang melaksanakan penelitian dan mencari sumber dan "reference" secara luas di kampus-kampus lain, di perpustakaan tingkat nasional, atau di perpustakaan di luar negeri.

Anda dapat mengakses dan melihat beberapa perpustakaan online di:

Perpustakaan Digital UI Perpus Digital BATAN Digital Perpus Brawijaya
Perpus Pusat Unikom Perpus Online UGM ITS Library Digital
Perpus STIE MCE Lingkungan Hidup Teknik Industri ITB
UMS Digital Library Airlangga Library DigiLib AMPL
ITB Central Library Pendidikan NonFormal Perpustakaan DikNas

Laboratorium Bahasa Keadaan Indonesia


Hal-Hal Utama

Keefektifan laboratorium bahasa disekolah-sekolah Indonesia pada saat ini sangat rendah dan tergantung pada kemampuan dan kepandaian masing-masing guru serta kepala sekolah diantara sekolah-sekolah tersebut. Situasi seperti ini timbul karena model laboratorium bahasa yang ada kebanyakan tidak dipergunakan serta penyelenggaraan penginstalasian laboratorium bahasa di sekolah tidak diawasi kwalitasnya ( tidak adanya standarisasi kwalitas ), juga masalah operasional (termasuk pembiayaan yang pro-aktif dan reaktif , suku cadang, pemeliharaan, pelatihan dan anggaran perlatan ) tidak ditujukan secara efektif. Penginstalasian laboratorium bahasa biasanya tidak berdasarkan pada rencana jangka waktu yang cukup lama dan kurang terkoordinasi. Rencana teknologi, pelatihan guru dan pengenalan peralatan mengajar sebaiknya harus sudah diperkenalkan sebelum peralatan tersebut sebelum dipasang.
Berdasarkan situasi yang ada

Dalam tahun 1982/83 sebanyak 500 Tandberg (sistem 500) Audio Active Comparative (ACC) laboratorium bahasa sebenarnya sudah diinstaslasi disekolah-sekolah Indonesia. Banyak laboratorium Tandberg yang asli masih teta beroperasi. Meskipun, sangat bervariasi sekali dalam hal tingkat ketahanannya juga dalam hal penggantian suku cadang sekarang ini menjadi masalah yang cukup serius. Dan mereka telah "tersapu" oleh penginstalasian baru ( kebanyakan laboratorium bahasa Panasonic ) yang sampai saat ini masih terus bertahan.
Menuju Model lebih baik

Syarat utama bagi para pekerja baik yang profesional maupun semi-profesional di Indonesia adalah kemampuan berbahasa asing dan kemampuan komputer. Dan hal yang sangat ditekankan dilapangan adalah kemampuan berbicara / mendengarkan. Mengingat dari seluruh wilayah nusantara hanya 30 % dari lulusan SMU yang melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi ( 70 %nya terjun langsung dalam lapangan kerja ), kemampuan dalam hal tersebut (berkomunikasi) dalam lapangan kerja paling tidak dalam tingkat seimbang pemakaiannya, dan paling tinggi tidak lebih dari kemampuan untuk membaca dan menulis ( biasanya cenderung berorientasi ke tingkat akademi). Sangat jelas bahwa sekarang alokasi waktu untuk mempraktekan kemahiran berbahasa dalam program belajar di sekolah kurang, padahal itu adalah kunci utama yang harus diperhatikan

Model baru yang mana saja di Indonesia sekarang harus memperhatikan beberapa faktor berikut;

* akuisisi praktek kemampuan berbahasa (praktek berbicara, mendengarkan dan memahami suara dari penutur asli, meningkatkan keberanian),
* ukuran kelas (saat ini jumlah maximum siswa adalah 48 orang), fleksibilitas gaya mengajar (pendekatan komunikatif oleh guru bahasa tidak tercermin dalam model rancangan sekarang ini),
* kemampuan memonitor dan bekerja dengan masing-masing siswa (dalam semua bentuk pelajaran),
* sistem perawatan prventif.

Bentuk rencana-ruangan ini mengambarkan 24 siswa dengan bentuk laboratorium-U. Telah dilakukan banyak sekali cara untuk menyelesaikan banyak masalah yang secara spesifik berhubungan dengan kebutuhan program sekolah bahasa. Fokus utama dalam membangun model laboratorium bahasa adalah kwalitas. Dan pertama yang harus diperhatikan adalah ukuran kelas, kegiatan laboratorium, dengan definisi harus memberi kesempatan untuk percobaan yang dapat dimonitor dengan bantuan guru yang sesuai dengan kebutuhan siswa masing=masing. Dibutuhkan usaha yang sangat besar untuk memonitor 48 siswa dalam waktu 45 menit kegiatan mengajar (dikurangi waktu untuk pengenalan pelajaran dan waktu memeriksa ulang) hal ini sangat tidak realisitis. Konsep awal untuk memecahkan masalah ini berpusat diseputar merubah ukuran kelas (dibagi dua), serta membagi ruang laboratorium yang ada dengan partisi (dinding) kaca. Pada ruang ke dua (berkaca) menjadi ruang Self-Access (SA) yaitu tempat dimana siswa/i dapat belajar secara mandiri. Di ruang Self-Access terdapat fasilitas seperti kaset rekaman (kalau ada sisa dari lab yang lama maka ini dapat dimodifikasi), video/TV dan peralatan mendengar (pada kebanyakan sekolah sudah mempunyai televisi dan video yang jarang dipakai di ruangan lain), bahan yang berhubungan dengan kurikulum (yang dibuat sendiri). Materi SA dihasilkan dari sumber-sumber bahan yang ada di perpustakaan termasuk koleksi "Languages Other Than Indonesian" (LOTI).

Walaupun tujuannya untuk memeriksa pengadaan sumber-sumber bahan yang ada di perpustakaan untuk keperluan fasilitas SA, fenomena yang ada sangat mengherankan. Yaitu kebanyakan setiap mengunjungi perpustakaaan selalu kosong, yang ada hanya penjaga perpustakaan atau staf yang hanya mengawasi buku-buku. Berdasarkan pengamatan, mengapa perpustakaan tidak dipergunakan oleh siswa alasannya adalah semua siswa berada didalam kelas. Nyata sekali dalam hal ini bahwa guru tidak biasa memanfaatkan fasilitas perpustakaan sebagai bagian dari strategi mengajar di kelas mereka. Perpustakaan pada dasarnya hanya berfungsi tidak lebih sebagai gudang buku. Hal ini menimbulkan pikiran logis dan jauh lebih bermanfaat untuk megembangkan atau merubah fasilitas perpustakaan daripada membangun ruang khusus berkaca (yang hanya bisa dipakai oleh para siswa bahasa). Kelas laboratorium bahasa dapat dibagi menjadi dua kelompok (masing-masing 24 siswa), dan 24 siswa yang tidak ikut kelas laboratorium dibuatkan jadwal untuk mengunjungi perpustakaan. Rencana ini juga lebih efektif apabila memanfaatkan staf perpustakaan dan mengijinkan guru bahasa lebih bebas untuk memfokuskan diri pada kegiatan belajar bahasa di laboratorium.

Keuntungan lebih jauh dari pendekatan seperti ini adalah meningkatnya fasilitas perpustakaan sehingga seluruh anggota lingkungan sekolah dapat menggunakannya selama jam buka perpustakaan. Konsep ini juga menimbulkan masalah penting lainnya (barangkali salah satu yang terpenting) yang perlu dihadapi yaitu - "akses perpustakaan". Perpustakaan sekolah biasanya buka hanya selama waktu belajar dan waktu yang singkat setelah sekolah usai (biasanya 15 menit) supaya siswa dapat meminjam buku. Konsep siswa mengunjungi perpustakaan untuk belajar setelah sekolah usai tidak mendapat dukungan. Di Indonesia, dimana jumlah anggota keluarga biasanya besar dan terbatasnya ruangan pribadi dirumah-rumah, seringkali sulit bagi siswa untuk berkonsentrasi membuat pekerjaan rumah atau menemukan ruangan sepi untuk membaca. Membaca dan ketertarikan dalam membaca (minat baca) adalah salah satu dasar untuk membangun dan mendidik masyarakat. Meskipun saat ini, jam buka perpustakaan sekolah pada umumnya tidak mendukung dan mendorong siswa untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal ini bukanlah situasi yang hanya terjadi di sekolah tetapi juga di lembaga-lembaga lain, mereka memliki keterbatasan waktu perpustakaan yang singkat. Perpustakaan Nasional Indonesia menyatakan bahwa perpustakaan harus menjadi "pusat belajar mengajar". Walaupun, hal ini perannnya jauh sangat berbeda dari situasi yang ada saat ini.

Model laboratorium bahasa baru, berdasarkan pelaksanaannya, mempunyai potensi yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kwalitas program belajar bahasa melalui;

* Meningkatkan rasio guru/siswa secara makro dan pelatihan ketrampilan khusus juga untuk penilaian ketrampilan siswa secara perseorangan.
* Meningkatkan fleksibilititas cara mengajar.
* Persiapan untuk role-playing (memainkan peran) dan berinteraktif secara langsung untuk menambah sesi praktek berbicara / mendengar dan membantu meningkatkan rasa percaya diri siswa (ditengah-tengah laboratorium model U ini)
* Menghilangkan sekat antara para siswa selama waktu praktek untuk menstimulasi siswa berinteraksi sehingga mendorong perkembangan rasa percaya diri.
* Meningkatkan akses guru ke siswa untuk memonitor maupun membantu selama latihan cloze dan menulis/ mendengar.
* Meningkatkan pengenalan akan alat bantu mengajar (papan tulis, OHP, dll)
* Meningkatkan siswa memakai Self Access dan fasilitas perpustakaan.

CATATAN:

1. Diharapkan bahwa dengan meningkatkan akses dan penggunaan perpustakaan dapat mendorong siswa menggunakan fasilitas sekolah lebih sering serta membantu meningkatkan tingkat minat baca siswa (yang terpenting). Harapan yang dihasilkan selanjutnya dari penganalan self access yaitu siswa menjadi lebih peka akan kewajiban mereka mengenai pelajarannnya dan bagaimana belajar mandiri. Ini adalah ketrampilan yang ditujukan untuk persiapan yang lebih baik bagi siswa yang ingin melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi maupun yang akan terjun langsung ke lapangan kerja.

2. Sangat penting dicatat bahwa bentuk pemikiran teknologi pendidikan (termasuk alat bantu belajar komputer) juga akan membutuhkan analisa yang cermat dan pemahaman akan semua kebutuhan serta masalah yang sustainability (terus-menerus), jauh sebelum penginstalasian dimulai. Agar semua teknologi pendidikan dapat menjadi lebih efektif, efisien serta tetap berlangsung hal tersebut sangat penting sekali untuk dipertimbangkan pengintegrasiannya ke dalam sistem pendukung, yang terbaik adalah mempersatukan keperluan kurikulum, guru dan siswa. Yang harus didahulukan pertama adalah system pendukung baru kemudian teknologi.

3. Anda mungkin memperhatikan bahwa yang paling banyak dibicarakan dalam tulisan ini adalah seputar modifikasi laboratorium yang sudah ada. Apabila anda ingin membangun laboratorium silahkan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan kami.

Kami menyarankan apabila anda ingin membeli peralatan, software atau memasang fasilitas Internet gunakanlah FORUM di homepage ini untuk meminta saran dan bantuan dari pihak pendidikan yang berpengalaman. Bandingkanlah harga dan garansinya sebelum memesan dan membeli barang.

Phillip Rekdale
Konsultan Pendidikan & Teknologi
P.Rekdale@Language-Laboratory.Com